Aku harus jawab apa??
Sepanjang hari kerutan di keningku tak urung terurai. Hatiku berbunga-bunga, tapi tak jua bisa kunikmati indahnya. Satya. Namanya mengalun memenuhi relung jiwa.
Katanya dia mau menikah dalam waktu dekat ini. Kenapa jadi bersedia menunggu setahun lagi? Sebegitunyakah dia mengharapkan aku menjadi istrinya...? Dia cinta sama aku? Ah, Kegeeran kamu, Diah.
Kalau aku sampai bilang suka atau cinta, "Iyaa ... Aku juga ada rasa sama Abang..." Ya Allah, gak banget. Jantungku, tetaplah di tempat! Memikirkan mengakui rasa seperti itu saja membuatku panas dingin.
Lalu ... bagaimana cara kami menjaga hati selama itu nanti? Sudah pasti banyak jalan bagi setan untuk menggoda. Jadi apa namanya, tunangan? Pacaran? Hubungan tanpa status? Nantikanku di Batas Waktu? Astaghfirullahal'adzim, jadi judul lagu nasyid itu. Heu.
Tapi pasti kami bisa saling menjaga hati. Gak akan sampai pacaran. Kami kan aktivis dakwah. Ya Allah, ujubnya ...
Mungkin dia bisa menjaga hati. Tapi aku?
Baik, aku tolak saja!
Tapi, bagaimana aku bisa?
Apa harus berbohong? "Aku gak punya perasaan apa-apa ke Abang." Apa itu yang terbaik...?
Help...! Terjadi perang! Batinku bergejolak, otakku menggelegak. Sesaaaakk...
"AAAAAARRRGGGHHH ...!"
"ASTAGHFIRULLAH! Eling, Diah. Nyebut! Kunaon maneh teh??" kata Siti. Dia terkejut setengah mati mendengarku tiba-tiba berteriak di tengah kegiatan mencuci piring. Huft... Pekerjaan di dapur umum tak bisa juga mengalihkan pikiranku. Padahal jobdesk utamaku di acara ini jadi mentor. Tapi kejadian ini malah membuatku error.
"Kamu kenapa?" Siti dengan logat mendayu-dayu yang tak pernah luntur itu bertanya dengan mata yang membulat, kemudian mendekat. Menatapku lekat.
"Jangan-jangan kamu kesurupan, ya?!" Lalu tiba-tiba saja dia berdiri, menjauh. Ketakutan sendiri.
Ristia yang berhadap-hadapan denganku, terpisahkan bak besar penuh air berbusa, sampai ikut pula dia berdiri dan mundur beberapa langkah.
Bukan tanpa sebab mereka bersikap seperti itu, karena baru saja ada akhwat yang kesurupan saat materi sedang berlangsung di aula. Bukan cuma satu, tapi tiga orang! Aku kurang tahu pasti seperti apa kejadiannya. Aku terus di dapur. Mungkin jika berada di aula, bisa jadi aku ikut kerasukan karena pikiranku yang sedang melayang.
"Siapa kamu?!" teriak Siti.
"Aku embahmu!" jawabku asal.
"Diaaaahhh...!"
"Iyaaa..."
"Nakut-nakutin aja!"
"Hahaha...!"
***
Temaram. Walaupun sunahnya tidur dalam kondisi lampu padam, tapi aku tetap tidak suka jika gelap gulita. Jadilah kami menyalakan lampu meja belajar sebagai penerangan. Aku terjaga.
Dengkuran halus Ratna mengiringi shalat malamku. Aku bersimpuh, memohon petunjuk dari Allah dalam membuat keputusan. Sudah dua pekan, setiap malam aku shalat istikhoroh sebelum tidur dan bangun di penghujung malam.
Hanya Allah yang tahu, bagaimana aku memendam rasa cinta ini sekian lama. Hanya Allah yang tahu, bagaimana aku selalu berusaha menekan rasa cinta ini agar tak nampak. Sungguh, hanya Allah yang tahu, bagaimana aku berjuang mengubur, tak menyirami, tak memupuk rasa ini. Allahurabbi... Bagaimana ini?
"Lihat. Hatimu begitu kotor, sehingga petunjuk dari Allah sulit kau dapatkan!"
Deg.
Ada seseorang yang membisikkan kalimat itu padaku. Atau mungkin itu kata-kataku sendiri, yang keluar dari alam bawah sadarku. Aku beristighfar banyak-banyak.
Mungkin benar adanya, aku tak mungkin bisa mendapatkan jawaban yang benar, jika hatiku sudah cenderung kepadanya.
Aku menangis. Begitu lemah iman ini, begitu rapuh hati ini. Allahurobbi... Ingin sekali aku menjawab "IYA", tapi batin ini tak kuasa, hatiku pasti akan dipenuhi olehnya. Aku takut jika cinta ini melebihi rasa cintaku kepada-Mu.
Aku sok idealis? Sebut saja begitu. Biarlah... Bismillah.
Ainul Mardhiah: [Assalamu'alaikum. Bang, afwan. Abang tidak usah menunggu ana. Semoga kita sama-sama mendapat jodoh yang baik, terbaik menurut pandangan Allah. Aamiin]
Send.
Tumpahlah tangisanku. Allah ... jika ini adalah ujian hati untukku. Sungguh, aku sudah mengikhlaskan dirinya. Bantu aku untuk melupakan dirinya. Bantu aku memenuhi hati ini dengan mengharap cinta dan ridha-Mu semata.
Aku tutup wajahku yang basah dengan mukena, aku menangis sejadi-jadinya. Bersimpuh di atas sajadah...
Ddrrrttt...
Bang Satya menelepon.
"Halo, assalamualaikum."
"Wa-waalaikumussalam warahmatullah. Ehem." Aku mencoba menetralkan suara.
Lama tidak ada suara. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Aku pun tak mampu berkata-kata. Air mataku meluncur lagi.
"Terima kasih atas jawabannya," katanya.
Jeda lagi-lagi mengudara begitu lama.
Aku ingin mengungkapkan semua ... tapi aku tak berdaya.
"Ehem. Afwan, Bang." Kelu. Lidahku kaku.
"Sudah azan Subuh. Assalamualaikum, Diah. Jazakillah khoir."
"Waalaikumussalam. Waiyyaka."
Kenapa dia tidak mencoba bertanya lagi, kenapa dia tidak mengungkapkan rasa cinta? Kenapa dia tidak lebih keras berusaha?
Malulah, wong jelas kamu sudah menolaknya! Dasar bodoh.
***
Satu bulan kemudian.
"Wah ... daebak! Pernikahan akbar fakultas kita abad ini, Diaaah ...!" Ratna penggemar berat drakor itu tiba-tiba rusuh di kelas pagi-pagi.
"Siapa?" tanyaku.
"Bang Satya sama Kak Mia!"
Allah ....
Ratna, kamu teman kos sekamarku yang tak pernah tahu kisah ta'arufku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf Ainul Mardhiah
RomanceBayangannya muncul kembali. Sesak, aku menangis lagi. Selalu begini saat aku sendiri. Kubuka map coklat berisi biodata seorang ikhwan. Seorang laki-laki yang sudah membuatku sakit selama satu bulan. Ah, salah. Bukan dia penyebabnya, tapi rasa i...