Diah: [Aini, kamu sampai rumah jam berapa? Nanti malam ngerjain tugas, gak? Laptopnya Kakak pakai, ya?]Aini: [Sampai rumah kira-kira jam delapan malam, Kak. Pakai aja laptopnya nanti.]
Laptop yang sekarang dipakai adikku Aini itu, kubeli dengan hasil jerih payah mengajar les privat dan bimbel saat kuliah dulu. Menabung selama dua tahun, bahkan sampai rela berlapar-lapar ria. Kenapa susah-susah, tidak minta dibelikan saja?
Keluargaku sangat sederhana. Jauh dari kata kaya atau serba ada. Bagi kami, laptop termasuk barang mewah. Begitulah ....
Tadi pagi, Bapak dan Ibu bersuka cita melepasku untuk ikut wawancara. Sebagai anak pertama, besar harapan mereka padaku untuk bisa segera membantu perekonomian keluarga.
Setiap hari pasti disinggung, "Sudah melamar kerja ke mana aja? Udah ada panggilan belum? Sana keluar rumah cari kerja, jangan diem-diem, santai-santai terus di rumah!"
Memikirkan itu membuat kepalaku peniiing ... pusing sepuluh keliling. Kubersit sisa lendir yang masih mengalir dari hidung keras-keras.
"Diah?" Suara Reza mengejutkan lamunanku, dia berhenti di depan pintu musholla lantai dua. "Masih di sini? Eh, anti kenapa? Habis nangis, ya?"
Ternyata jejak tangisanku terlihat olehnya. Segera kuusap wajah sekenanya.
"Sudah waktunya pulang, ya?" tanyaku sambil merapikan mukena yang sedari tadi belum kulepas.
"Iya, sudah pulang semua. Jam kerja kita cuma sampai Ashar, kok."
"Ente sendiri kenapa belum pulang, Za?“
"Tadinya mau langsung pulang dari masjid tadi, tapi kelupaan sesuatu. Jadi balik lagi."
"Oh ...,"
Reza sekarang bicara dari balik dinding mushola sebelah luar. Derit kursi memberi tahu bahwa dia sekarang sedang duduk.
"Ane disuruh resign tadi, Za. Kata Bang Satya ane gak cocok kerja di sini." Kusandarkan punggung, dan meluruskan kaki di atas karpet tebal hijau yang nyaman ini.
"Padahal ane baru aja merasakan euforia, semangat banget ngedit naskah tadi siang, walaupun belum selesai, sih."
"Bang Satya memang begitu kan orangnya. Anti yang sabar, ya. Hmm ... beneran gak jadi kerja di sini?“ tanya Reza.
Kami saling bicara, namun tak saling menampakkan rupa. Begini lebih baik, aku merasa nyaman.
"Gak tahu ane, Za. Bingung. Tadi ane nangis di depan Bang Satya, coba. Maluuu ... banget kalau diingat lagi."
"Ya ampun, Diah. Serius?? Hahaha ...." Reza tertawa renyah.
Aih, aku tidak tahu kalau Reza juga bisa tertawa seperti itu. Atau mungkin karena selama ini dia selalu luput dari perhatianku?
"Jahat, kamu, Za," selorohku, berusaha menghentikan tawanya.
"Eh, afwan, afwan. Ane gak ngetawain anti, kok. Cuma lucu aja ngebayangin tampang Bang Satya ngeliat anti nangis depan dia! Hahaha ... terus, terus, gimana?“
"Terus akhirnya dia bilang mau kasih kesempatan kedua. Syaratnya ane harus selesaikan tugas yang dia kasih besok pagi. Kalau gak selesai, gak akan ada toleransi lagi."
"Ya udah, kerjainlah. Jangan malah ngumpet di sini." Reza tertawa lagi.
"Iya, ini juga niatnya mau dikerjain. Tapi sebentar, masih mau menata hati yang TERSAKITI LAGI! Bang Satya dari dulu gak berubah. Untung udah kenal, jadi rada kebal."
"Lagi? Memang dulu pernah disakiti hatinya sama Bang Satya?" tanya Reza.
Ops!
"Umm, pernahlah dulu pokoknya." Terlintas kejadian satu tahun yang lalu, saat aku sakit sampai satu bulan lamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf Ainul Mardhiah
RomanceBayangannya muncul kembali. Sesak, aku menangis lagi. Selalu begini saat aku sendiri. Kubuka map coklat berisi biodata seorang ikhwan. Seorang laki-laki yang sudah membuatku sakit selama satu bulan. Ah, salah. Bukan dia penyebabnya, tapi rasa i...