Gemricik air mancur menyambut langkahku di Jakarta Islamic Centre, Jakarta Utara. Kulempar pandang ke kubah di atas sana. Besar, tinggi menjulang. Tatapanku melebar ke halaman hijau nan luas. Perlahan meniti anak tangga naik ke lantai dua. Duduk meluruskan kaki ke arah utara selasar masjid megah ini.
Sepertinya aku terlalu cepat sampai. Sepi. Waktu Zuhur masih tiga jam lagi. Aku menanti.
Kompleks masjid ini sangat luas, sekitar dua belas hektar. Aku senang menjadi saksi hidup proses pembangunannya. Saat itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Setiap kali melewati kawasan ini, aku hanya bisa melihat pagar rapat di sepanjang jalan. Entah pintu masuknya sebelah mana, kadang aku penasaran. Ada apa di balik pagar-pagar seng rapat itu?
Aku paham setelah mulai beranjak dewasa, ternyata tempat ini dulunya adalah lokalisasi prostitusi. Ribuan kupu-kupu malam beterbangan setiap harinya. Bahkan kawasan ini diklaim sebagai lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara kala itu. Bergidik membayangkannya.
Aku melirik ke dalam masjid melewati pintu kayu besar, lampu-lampu hias menggantung anggun bak ekor burung merak hijau yang merekah, terlihat sangat indah. Dengan gaya arsitektur perpaduan Timur Tengah, Turki, dan budaya betawi, masjid ini telah menjadi simbol kebangkitan Islam di Jakarta, bahkan Indonesia. Meruntuhkan simbol kemaksiatan.
Berdebar dada ini menanti kehadirannya. Dalam waktu sepekan aku memutuskan untuk melanjutkan proses ta'aruf ke tahap pertemuan. Aku baru mengenalnya lewat biodata itu. Siapa namanya? Teguh.
Lulusan akutansi universitas swasta. Umurnya lima tahun di atasku. Seorang pegawai negeri sipil. Di dalam biodatanya hanya terlihat wajah close up, putih, khas suku sunda. Dia asli orang Sukabumi. Dengan tinggi badan 165 cm yang tertera di sana, aku sudah bisa membayangkan bagaimana postur tubuhnya. Tidak akan terpaut jauh dengan tinggiku yang hanya 155 cm.
Isi biodatanya standar, seperti CV melamar pekerjaan. Aku harus tahu lebih banyak lagi, terutama tentang agama, akhlak, dan keluarganya.
"Diah, udah lama?" Mbak Mira menepuk pundakku pelan.
"Astaghfirullahal'adzim! Ngagetin aja, Mbak..."
"Deuh, yang mau ta'aruf tegang banget. Hahaha..." candanya. "Santai aja kali."
"Diah santai, kok. Masih lama mereka datangnya? "
"Di jalan tadi katanya. Sebentar lagi sampai."
"Mbak, Diah boleh tanya. Bagaimana ceritanya ikhwan itu bisa minta proses sama Diah?"
"Oh, itu. Jadi begini ceritanya. Ada teman suami Embak yang minta dicarikan jodoh. Embak mengajukan beberapa biodata akhwat, termasuk biodata kamu. Terus dia memilih kamu, Di," terang Mbak Mira.
"Oh, begitu." Hatiku sedikit tergelitik mendengarnya.
"Nah, itu dia orangnya. Bismillah ya, Diah." Mbak Mira meremas jemariku.
Deg. Deg. Deg.
Ya Allah, gugup sekali. Dari jauh aku perhatikan mereka. Ada dua orang laki-laki berjalan ke arah kami. Salah satunya Bang Bayu, suami Mbak Mira. Ikhwan yang berjalan di sebelahnya itu pastilah Teguh.
Tanganku yang tiba-tiba menjadi dingin, meremas-remas tas punggung yang ada di hadapanku.
Mereka sampai.
Kami duduk berhadapan, jarak kami sekitar tiga meter. Aku menunduk. Belum berani mencuri pandang ke arahnya. Pipiku memanas, ya Tuhan...belum juga dimulai, Diah, Eling!
"Ehem. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh." Itu Bang Bayu.
"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh," jawab kami serempak.
"Bagaimana kabarnya Ukhti Diah, Akh Teguh, sehat?"
"Saya gak ditanya juga, A?" celetuk Mbak Mira.
"Iya, Sayangku ... bagaimana kabarnya sejak turun dari motor bareng Aa di parkiran tadi?" jawab Bang Bayu.
"Sehat dan bahagia, Aa ... Alhamdulillah," kata Mbak Mira semringah.
Kami tertawa renyah setelahnya. Aku paham, pasti mereka berusaha membuat pertemuan ini menjadi tidak terlalu tegang. Bikin iri gak sih, mereka berdua. Hadeuh, sabar.
"Baik, kita buka dulu, ya, pertemuannya dengan lafadz basmallah. Semoga pertemuan kita ini diberkahi Allah swt. Shalawat serta salam tidak lupa kita berikan kepada nabi kita Rosulullah Muhammad saw. Semoga kita mendapat syafaat di akhirat kelak. Aamiin. Langsung saja, ya. Ukhti Diah, ini Teguh. Teman saya di kantor. Insyaallah sekufu dengan Ukhti. Silakan jika ada yang ingin ditanyakan lebih lanjut dari biodata yang sudah dibaca masing-masing."
"Sa-saya duluan yang tanya?" Aku mengangkat kepala. Setelah menatap Bang Bayu, pandanganku beralih padanya. Satu detik, dua detik, tiga detik. Dia menunduk terus.
Baik, tidak mengapa. Ini saatnya aku ajukan semua list pertanyaan yang sudah kususun sejak semalam. Gugup itu perlahan menghilang. Berganti dengan rasa penasaran.
"Hai, coba angkat wajahmu sedikit, gak kelihatan!" Tapi itu cuma perintah dari dalam hati. Apa dia pemalu sekali? Walaupun wajahnya sudah terlihat jelas di foto, tapi beda, dong, dengan menatap secara langsung. Kenapa aku merasa jadi arogan, agresif? Wuah, Diah. Kemajuan!
"Ehem. Tolong ceritakan tentang keluarga Akhi, bagaimana keseharian, pekerjaan, ibadah yaumiyah dan lainnya. Juga adakah amalan unggulan Akh Teguh? Cukup itu dulu." Aku terus mencari mata itu, tapi sepanjang dia menjawab pertanyaanku tak kutemukan manik matanya. Bahkan dia jadi menghadap ke tembok sedari tadi. Apa dia sangat menjaga pandangannya?
Suaranya sangat lembut, bahkan hampir tidak begitu jelas kudengar. Beberapa kali aku sampai menginterupsi ucapannya dengan, "Apa??" Maksudnya agar dia membesarkan volume bicaranya.
Lalu kami pun saling melempar pertanyaan. Sampai pada tak ada lagi yang ingin kami tanyakan, Mbak Mira memintanya muroja'ah hafalannya.
Akh Teguh membacakan sepuluh ayat awal surat Al-Kahfi. Alhamdulillah, pastilah dia tahu keutamaannya.
"Siapa yang menghafal sepuluh ayat pertama dari surat Al-Kahfi, maka ia akan terlindungi dari Dajjal." (HR. Muslim no. 809)
Dalam riwayat lain, dari akhir surat Al-Kahfi.
"Baik, seminggu dari sekarang silakan masing-masing memikirkan dulu baik-baik, apakah mau dilanjut atau tidak prosesnya. Jangan lupa banyak-banyak berdoa minta petunjuk dari Allah. Jika Ukhti Diah ada pertanyaan nanti, bisa ditanyakan melalui istri saya." Bang Bayu lalu menyudahi pertemuan kami.
Mereka pamit.
Aku perhatikan lagi Akh Teguh menjauh. Cara berjalannya berbeda dari Bang Satya. Tingginya tidak setinggi Bang Satya. Suaranya tidak selantang Bang Satya, Rupanya pun jelas berbeda. Hafalan suratnya tidak sebanyak Bang Satya, tilawahnya juga lebih bagus Bang Satya.
Astaghfirullohal'adzim!
Kugelengkan kepala kuat-kuat.
Satu tahun lamanya! Bahkan nomor handphone-nya sudah kuhapus sejak lama. Namun jejaknya masih terus ada ...
Bersambung ~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf Ainul Mardhiah
RomanceBayangannya muncul kembali. Sesak, aku menangis lagi. Selalu begini saat aku sendiri. Kubuka map coklat berisi biodata seorang ikhwan. Seorang laki-laki yang sudah membuatku sakit selama satu bulan. Ah, salah. Bukan dia penyebabnya, tapi rasa i...