Hari ini aku harus kembali lembur di kantor. Meski memiliki ruangan yang besar, aku tetap merasa kesepian. Hanya sebuah foto di meja kerjaku yang sedikit mengusir kesendirianku.
Aku menatap layar hpku, tapi tidak ada pesan baru ataupun panggilan dari seseorang yang aku tunggu. Perhatianku teralihkan pada cuaca di luar perusahaan.
"Hujan yang deras", gumamku lalu menyandarkan bahuku yang lelah pada singgasanaku.
Aku kembali memandang foto di mejaku. Foto itu menarikku pada kenangan 7 tahun yang lalu. Hari pertama aku mulai berbicara dengannya. Meysa.
Hari itu, aku tidak terlalu bersemangat untuk mengikuti perkuliahan. Jadi aku mencoba mencari udara segar melalui teras belakang ruang kelas yang ada di lantai 2. Teras itu langsung menghadap ke arah parkir sepeda motor mahasiswa. Hari itu hujan cukup deras.
"Untung aku tiba lebih awal", gumamku.
Diantara banyaknya mahasiswa yang lalu lalang di parkiran dengan mengenakan jas hujan. Ada seseorang yang menarik perhatianku. Dia tiba di parkiran dalam keadaan tidak mengenakan jas hujan. Padahal hujan hari itu cukup membuat pakaian basah bila terlalu lama di tengahnya.
Dia segera menepi setelah memarkirkan kendaraannya dan membilas roknya yang cukup basah.
Seseorang menghampirinya, aku kenal dia adalah Lilia."Mey, lagi-lagi kami tidak memakai jas hujan", tegur Lilia kepada perempuan dihapannya yang dipanggil Mey.
Barulah beberapa waktu kemudian aku tahu namanya Meysa.
Perempuan itu hanya tersenyum membalas Omelan temannya. Tidak ada yang berkesan dari hal itu. Ya, tidak ada sampai pada sore harinya.
Aku bertemu dengannya di dalam kelas. Bodohnya aku, saat itu aku baru tahu kalau kami sudah sekelas sejak awal semester 1 bulan yang lalu. Meski sebenarnya bukan bodoh, hanya aku saja yang kurang peka dan peduli pada lingkungan sekitar.
"Duduk disini aja Rey!", Ajak Lilia untuk duduk disampingnya.
Aku gak mempermasalahkan duduk disamping siapa, asal berada di barisan belakang.
Setelah selesai perkuliahan, aku hanya perlu pulang ke kost dan tidur. Masa kuliah adalah kesempatan emas bagiku untuk bebas dari cengkeraman kedua orang tuaku. Aku bisa melakukan hal-hal yang aku suka tanpa di larang. Termasuk tidur dan main game.
"Rey, kamu mau kemana?", Panggil Meysa tiba-tiba saat melihat aku akan pergi.
"Bukannya mata kuliah sudah selesai yah, jadi aku mau pulang", sahutku.
"Iya, mata kuliah memang sudah selesai, tapi tugas belum. Kamu gak dengar tadi Pak dosen bilang kalo disuruh membentuk kelompok sesuai barisan. Jadi kita harus menyelesaikan tugas kelompok untuk besok", tukasnya seperti tidak ada hentinya.
Karena terlalu males mendengarkan Omelan, aku menuruti saja apa katanya. Dan sungguh aku tidak menyesal hari itu tidak pulang dan tidur.
Sejak hari itu, aku mulai sering bicara dengannya meski awalnya aku hanya kenal Lilia. Tapi lama kelamaan aku semakin mengenal dirinya. Kepadanya aku bisa bersikap manja, suatu sikap yang tidak pernah aku miliki sejak kecil terlebih kepada orang tuaku.
"Kamu sakit Rey? Jangan lupa minum obat, jangan main game terus. Gak papa kalo kamu gak ikut", ucapnya hari itu saat dia, Lilia, Vina dan Jian ingin mengajakku jalan-jalan dan makan di luar.
Tapi aku tetap memaksa untuk ikut. Jadi dia menawarkan kepada untuk naik kendaraan berdua dengannya, tapi dengan menggunakan sepeda motor miliknya. Karena aku tahu dia tidak suka dan tidak pernah mau naik sepeda motorku yang sengaja aku modifikasi agar bagian belakang condong ke depan.
Tentu saja aku menerima ajakannya dengan senang hati.
Selain menjemputku, sebeny dia jua menjemput Fitri yang kostnya berdampingan dengan kostku.
Aku menghampiri mereka setelah mengenakan jaket yang tebal.
"Kamu yakin mau ikut?",tanya lagi terlihat khawatir.
"Iya, siapa tahu aku ada selera makan", jawabku.
"Ya udah, kamu naik di belakang, biar aku yang bonceng", ucapnya.
"Sakit ku gak membuat aku bisa berbahaya untuk menaiki sepeda motor dan membonceng kamu, jadi biar aku yang membawa", tukasku lalu meminta kunci sepeda motor.
Hari itu dia tidak terlalu banyak membantahku dan menyerahkan kuncinya tanpa mengomel.
Setelah Vina datang, kami segara meluncur menuju tempat janjian. Jian dan Lilia menunggu di pintu gerbang.
Kalau diingat lagi, hari itu meski tidak terlalu sehat, aku lupa rasa sakitnya. Aku banyak mengobrol dengannya saat boncengan berdua. Meski kami bersahabat, dia tetap memberikan batasan. Sehingga tidak berpegangan padaku.
Hanya saat itulah aku mengetahui sesuatu yang sebenarnya sudah aku duga tapi ingin aku ingkari.
"Entahlah aku gak tahu bagaimana perasaanku. Hanya saja, saat ini aku masih mengaguminya", jawabnya saat arah pembicaraan kami mengenai Dirga.
Dia tidak tahu perasaannya menandakan bahwa dia merasakan hal yang berbeda kepada laki-laki itu, dibandingkan kepada laki-laki lain termasuk aku. Aku jelas tahu, dia memberikan batasan "sahabat" kepadaku, yang menjelaskan bahwa dia tidak punya keinginan atau pikiran lain kepadaku. Aku merasa kecewa saat itu, meski hanya sekilas. Karena aku masih terlalu muda saat itu untuk memahami perasaanku. Aku lebih sering bergonta-ganti pacar mengikuti arus.
Dibandingkan sekarang, dulu aku lebih banyak menerima pernyataan ketimbang menolak. Sekarang aku sudah yakin dengan isi hatiku, karena itu aku memilih menolak semuanya.
Meski begitu, kedua orang tuaku terus memaksaku untuk segera memiliki pasangan dan meneruskan perusahaan. Bagi mereka, keuntungan dari hubungan sebuah ikatan lebih penting dari perasaan dalam ikatan itu. Maka, aku putuskan untuk memulai secara terang-terangan perasaanku pada Meysa.
Setelah menghubungi Lilia dan tahu kalau Meysa mengikuti acara Bakti Sosial. Aku yang awalnya tidak ingin ikut berpartisipasi, memutuskan ikut menghadiri kegiatan tersebut, hanya untuk bertemu dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
This Heart
Teen FictionTentang sebuah penantian panjang. Karena cinta itu bukan sekedar perasaan yang sesaat, tapi sebuah perasaan yang mendalam yang mungkin bertahan dengan waktu yang lama. Cerita ini adalah cerita cinta dengan 3 tokoh utama yaitu Meysa, Dirga dan Rey. S...