Time

1 2 0
                                    

Pagi ini saat kegiatan baksos. Aku memutuskan untuk menyatakan perasaan pada Meysa. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengannya. Aku harus mengatakannya sebelum terlambat, sebelum Meysa tahu tentang kemunculan Dirga malam ini.

Di antara keramaian jalan. Aku menemukan sosok yang sangat aku kenali.

"Kita mampir ke toko roti disana dulu", pintaku pada supir pribadiku.

"Baik pak!".

Dia selalu ke tempat ini bila ingin makan roti kesukaannya. Kebiasaannya gak pernah berubah. Dia masih tidak menyadari kehadiranku karena fokus mencari roti. Hanya satu kelemahannya, dia selalu lupa letak roti kesukaannya sehingga dia harus memeriksa setiap bagian rak. Dasar.

"Ah.. dia menemukannya", gumamku saat melihatnya tersenyum melihat ke arah rak di sudut toko.

Aku segera mengambil lebih dulu roti yang tidak lepas dari pandangannya.
Dia hampir marah, dan aku hampir tertawa melihatnya. Tapi emosinya segera hilang saat melihatku.

Aku memberikannya syarat untuk makan siang bersama di kantin sebagai ganti roti satu-satunya yang tersisa. Tapi dia menolak dan mengatakan aku "gila".

Yah. Aku memang gila, karena aku merasa dikejar waktu untuk menyatakan perasaanku dan menempati singgasanaku dihatinya, sebelum orang itu muncul.

Meski aku memberikan banyak alasan, dia tetap menolak. Dihatinya, singgasanaku hanya pada ruang "sahabat", bukan ruang "cinta".

Setelah berpisah di depan toko roti. Aku masih berharap dia menerima permintaanku. Karena itu aku putuskan saat jam makan siang, aku pergi ke kantin. Tapi aku tidak menemukannya. Aku mencoba menghubunginya, tapi dia tidak menjawab atau membalas pesan yang aku kirimkan.

Aku rasa aku menyadari bahwa waktu salah. Sampai saat acara penutupan bakti sosial. Aku sangat senang menerima panggilan telepon darinya. Aku mengabaikan dan meninggalkan para pemenang saham yang sedang berbicara denganku. Aku segera mencari tempat sepi agar bisa mendengar lebih jelas.

"Assalamualaikum..", ucapku.

"Wa'alaikumssalam..", sahutnya.

"Mey, kamu dimana?", Tanyaku ingin segera berlari menghampirinya.

Aku merasa suaranya begitu bergetar seakan sedang menahan sesuatu. Aku tahu penyebabnya. Dan itu semakin membuatku ingin menemuinya.
Tapi segera mematikan panggilan saat aku mencoba menjelaskan dan ingin bertemu.

Aku mencoba menghubunginya lagi, tapi dia tidak mengangkat panggilanku.

Aku tahu dia melampiaskan emosinya kepadaku.

Saat akan kembali ke dalam ruang pesta, aku melihatnya keluar dari toilet perempuan. Aku ingin segera berlari menghampirinya. Tapi sebuah panggilan masuk di hpku menghentikanku. Aku tidak menjawab panggilan itu, lalu sebuah pesan masuk.

"Kak, ayah ambruk dan dilarikan ke rumah sakit. Cepat susul kami, kak!"

Aku melihat Meysa kembali masuk ruang pesta. Aku ingin menghampirinya, tapi aku juga tidak bisa mengabaikan keadaan ayahku. Dengan perasaan kacau, aku menelepon supir untuk menuju pintu masuk hotel.

Setelah memasuki mobil, aku segera menuju rumah sakit.

Bayangan Meysa yang masuk ke dalam ruang pesta terus terlintas di kepalaku. Banyak pikiran yang bermunculan di kepalaku. Banyak prasangka dan dugaan yang tidak bisa aku hentikan.

"Mereka akhirnya bertemu lagi", gumamku dengan nada bergetar penuh emosi.

Sesampainya di rumah sakit. Aku segera mencari ruang tempat Ayah di periksa. Aku melihat Rani keluar dari ruangan ayah sambil menangis.

This HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang