Matahari

15.9K 1.7K 278
                                    

Farah melihat pepohonan dengan tatapan datar. Mengamati jalanan sembari mendengarkan musik dari earphone.

Ayah dan Awang duduk di depan. Awang yang menyetir. Ayahnya mendengarkan radio siaran lalu lintas kota sembari mengobrol ringan.

Farah bertopang dagu. Jika melihat jalanan ini, berarti Nenek dirawat di rumah sakit internasional dimana asuransi jiwa satu keluarga Bhanurasmi ditetapkan. Farah pernah sekali masuk rumah sakit saat SD. Gejala demam berdarah.

Namun yang dia ingat, hanya salah satu asisten rumah tangga Nenek dan Tante Siwi yang menjenguk dan menungguinya.

Tante Siwi adalah sepupu Ayahnya yang tinggal di rumah Nenek selama menempuh pendidikan tinggi. Ia menyayangi Farah.

Sayangnya, karena sekarang Tante Siwi harus ikut suaminya tugas ke luar kota, mereka jarang bertemu.

Kenapa semua orang yang berarti baginya harus satu per satu pergi meninggalkan dirinya.

Pepohonan berubah menjadi gedung-gedung. Farah bosan. Tapi rasa bosannya tidak sebanding dengan perasaan kalut karena harus bertemu dengan Nenek.

Ah, seandainya bertemu keluarga sendiri tidak sejengah ini, batinnya kusut.

Mobil akhirnya masuk ke dalam basement parkir pengunjung. Farah mengekor ke Ayahnya dan Awang ketika masuk ke dalam rumah sakit melalui lift.

Semakin dekat. Semakin kalut.

Farah tidak sadar mengatur nafasnya.  Lantai demi lantai lalu lift berhenti. Aroma khas rumah sakit langsung menyeruak ketika lift membuka. Lorong bersih dengan beberapa orang  menunggu di luar dan lalu lalang petugas medis.

Mereka kemudian berhenti di depan pintu kayu. Ayah mereka memencet bel, lalu keluarlah sesosok wanita hampir paruh baya dan seorang laki-laki tigapuluhan.

"Loh, Mas Arya!" Wanita itu sumringah, lalu memeluk Arya sebentar.

Ayah mereka tersenyum membalas pelukan wanita itu dan menanyakan kabar, lalu menjabat tangan sosok laki-laki sembari menanyakan hal serupa.

Farah mengenal mereka.

Wanita paruh baya itu adalah asisten rumah tangga kepercayaan Nenek. Namanya Ibuk Nah. Sedangkan yang laki-laki adalah anaknya, Pak Surip. Pak Surip dulu suka membersihkan kebun tapi belakangan beliau sekarang jadi sopir kalau sopir Nenek tidak bisa.

Selama di rumah Nenek dulu, Pak Surip selalu membuatkan mainan sederhana untuk Farah dari barang bekas; kardus, pelepah pisang, kulit jeruk Bali, batang bambu dan sebagainya.

Bahkan Farah suka sekali bermain gelembung dengan meniupkan batang daun rinicus---atau biasa disebut jarak. Lagi-lagi Pak Surip yang mengajari.

Sedangkan Ibuk Nah, lebih acuh tak acuh kepada Farah. Tapi beliau selalu menanyakan makanan apa yang ingin dimakannya agar bisa dimasakan atau dibelikan. Atau kadang, mengajak Farah berbelanja.

Dari berbelanja itu sebenarnya Farah cukup akrab dengan beberapa pedagang di pasar dan pemilik toko kelontong langganan. Dengan mereka, anehnya, Farah tidak anti-sosial.

Ibuk Nah menanyai kabar Awang, lalu mengajak Farah masuk ke kamar  juga.

"Arya..." Nenek Farah yang menangkap kumpulan kecil itu dengan pendar lemah, mulai berbinar. Sosok Anak kesayangan semata wayangnya tampak jelas.

Tangannya menggapai, lalu memeluk punggung lebar Ayah mereka.

"Kapan datang, Nak? Kamu istirahat di rumah ya? Mama udah oke kok, nggak perlu dijenguk kayak gini."

HelianthusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang