Ambisi Melampaui

12K 1.4K 147
                                    

Farah membopong tubuh Awang yang setengah sadar. Sebagian tubuhnya kelu karena berat. Dengan hati-hati ia membaringkan Awang di tempat tidur.

Dalam hati, Farah bersyukur kamar Awang bukan di lantai dua.Setelah mengambil nafas banyak-banyak saking lelahnya, Farah segera melesat ke kamar mandi, mengisi baskom dengan air dari kran air hangat yang dicampur sedikit air dingin agar suhu normal dan menyambar handuk. 

Farah menggigit bibir cemas, tapi tidak terlalu khawatir.  Situasi ini tidak terjadi untuk pertama kali.

********

Awang adalah sosok yang tidak pernah sakit. Bisa dibilang paling sehat fisik dan mentalnya daripada dirinya. Tapi sekali dia sangat kelelahan, Awang bisa kehilangan sebagian kesadaran dan terserang demam hebat.

Awang pernah mengalaminya saat Farah baru masuk SMP. Saat itu rumah Nenek sedang sepi. Nenek harus ke luar kota ditemani Pak Surip. Farah yang baru pulang dari Persami---Perkemahan Sabtu Minggu---- sebagai bagian paripurna rangkaian kegiatan ospek siswa baru, lelah namun sedikit senang karena keabsenan Nenek. Dia bersenandung pelan menuju kamarnya. Ditambah, Persami kemarin benar-benar menyenangkan.

Namun Farah terkejut mendapati Awang justru sudah berbaring meringkuk berselimut di kasurnya.

"Hei, bangun Wang! Tidur di kamarmu sendiri sana!" Farah mengguncang tubuh Awang dengan agak kesal. Rencana untuk rebahan terganggu. Namun Awang bergeming. Nyenyak bagai batu.

"Wang! Ck!" Farah berdecih kesal "kamu tuh udah gede. Tidur sendiri sana! Udah punya kamar baru lagian!"

Karena untuk beberapa waktu Farah dan Awang terbiasa tidur bersama dengan ranjang susun, saat liburan semester kemarin akhirnya diputuskan bahwa kamar mereka harus dipisah. Farah cukup senang karena akhirnya memiliki kamar luasnya sendiri walau dia tidak keberatan Awang acapkali masih suka menyelinap tidur dengannya. Membuat Farah mengejeknya penakut manja.

Tapi hari itu, Farah benar-benar ingin sendirian menikmati lelahnya. Toh kalaupun Awang ingin tidur sekamar, tempat tidurnya itu di ranjang atas. Ranjang bawah adalah teritori Farah.

Farah kehilangan kesabaran.

"Awang!" Sedikit membentak kesal, Farah membuka selimut Awang dan mengguncang tubuh Awang. Lalu tersentak, menjauhkan tangannya.

Suhu badannya sangat tinggi.

Hati-hati, Farah naik ke tempat tidur. Memandang Awang yang tampak tertidur namun dengan ekspresi kesakitan. Badannya menggigil dan penuh keringat.

Farah panik. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.

"Wang, bangun… Wang…" Farah membangunkan Awang dengan tujuan berbeda. Kali ini ia tidak mau Adiknya kenapa-kenapa. Tapi Awang tetap diam. Menggigil. Farah semakin panik. Ia gusar dan hampir menangis. Rasa lelah sudah menumpuk ditambah dengan rasa kalut. Rasanya dia ingin ikut pingsan.

"BUK NAH!!!" Farah berteriak memanggil asisten rumah tangga, suaranya tercekat serak karena menangis "BUK NAH!!!!"

Tergopoh-gopoh setelah beberapa panggilan memilukan,  Ibuk Nah lalu tahu apa yang terjadi. Segera Ibuk Nah membetulkan posisi tidur Awang lalu melepas baju Awang dengan susah payah, menghandukinya sampai kering lalu mengompres tubuh Awang. Farah dengan gemetar berinisiatif menelepon dokter Anton, dokter keluarga mereka.

Farah tidak bisa lebih lega lagi ketika Dokter Anton datang memeriksa dan memberi obat. Kondisi Awang berangsur baik. Ketiadaan kesadarannya yang setengah gawat itu terganti dengan suara dengkuran halus dengan nafas tenang.

"Meriang. Untung nggak pakai kejang-kejang. Kayaknya Awang cuma kelelahan sampai demam. Tapi kalau masih panas, nanti malam bawa ke rumah sakit. Ini sudah mendingan. Kasih minum yang banyak ya Bu kalau sudah bangun." Dokter Anton berujar tenang kepada Ibuk Nah, lalu menatap Farah sembari tersenyum "Farah pintar, tahu harus berbuat apa."

HelianthusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang