1

33 1 0
                                    

Rinjani berjalan menuju kelasnya diiringi tatapan memuja dari cowok-cowok dan tatapan iri dari cewek-cewek di lorong kampusnya. Rinjani tidak bodoh dan dia mengerti kalau semua tatapan itu karna wajahnya.

Rinjani sangat berterima kasih pada mendiang sang ibu yang sudah menurunkan wajah cantik itu untuknya. Meski kalau boleh memilih, dan andai saja bisa, Rinjani lebih baik tidak memiliki wajah cantik asal sang ibu masih hidup. Itu jauh lebih penting.

Peduli setan dengan wajah cantik kalau tidak ada ibu disampingnya.

Rinjani menuju tempat duduk yang biasa dia tempati, terlihat setangkai bunga mawar putih dan bandana dengan warna yang senada.

Bukan hal baru baginya mendapat yang seperti ini. Dalam seminggu tidak hanya sekali. Rinjani tidak habis pikir dengan siapa saja yang terus memberikan barang-barang yang tidak penting seperti ini untuk dirinya. Buang-buang uang dan tenaga saja.

Rinjani mengambil bunga dan bandana itu, berjalan ke arah belakang kelas dan membuangnya di tempat sampah.

"Sadis. Seperti biasanya" ucap Rara

"Ya. Ngga guna. Gw ngga suka bunga, apalagi pake bandana" sahut Rinjani

Rara adalah satu-satunya cewek yang tahan berteman dengan Rinjani. Disaat kebanyakan cewek dikampusnya tidak suka dengan Rinjani. Jangan tanya kenapa, Rara sendiri tidak mengerti kenapa dia suka berteman dengan cewek cantik tapi jutek dan dingin seperti Rinjani.

"Jan, Toni minta nomor lo" Rara menunjukan ponselnya yang terbuka diruang chat whatsApp.

"Toni siapa?" Rinjani tidak menatap lama ponsel Rara tapi malah seperti mencari sesuatu didalam tas nya.

"Kaka tingkat kita, yang blasteran arab itu."

"Oh"

"Cape gw ngomong sama kulkas" Rara menggerutu karna terlihat sekali Rinjani tidak tertarik dengan cowok cakep yang sedang Rara bicarakan. "Ngapain sih lo? Dari tadi nyari apaan?"

"Dompet" jawab Rinjani sambil mengeluarkan hampir seluruh isi tas ke atas mejanya dengan wajah yang mulai gelisah.

"Hilang? Atau lo lupa bawa dari rumah? Apa lo kecopetan dijalan? Apa ..." Rara tidak melanjutkan bicaranya karna Rinjani sudah menatapnya dengan tatapan yang dinginnya luar biasa. "Sorry"

Rinjani masih terus mencari dompetnya di tas walau dia sendiri mulai yakin kalau dompet tersebut sudah tidak didalam tas nya.

Rinjani yakin dia membawa dompet itu dari rumah. Jelas, karna tadi dia membayar taksi online untuk berangkat ke kampus.Tapi sekarang entah dimana dompetnya.

Selain banyak kartu-kartu penting seperti identitas dan ATM, ada lagi benda yang lebih penting didompet itu.

Satu-satunya benda yang dia simpan dengan baik sejak dia kecil. Benda yang mesti sudah usang tapi bernilai mahal. Benda yang membuat dia tau dari mana asal wajah cantiknya.

Foto sang ibu.

Beautiful PainWhere stories live. Discover now