"Hyung kau serius?" Soonyoung membulatkan mata sipitnya. Menatap Seungcheol yang kini menyalakan rokok untuk yang kesekian kalinya.
"Tentu saja."
"Lalu siapa selain Yoon Jeonghan? Bukankah dia terlihat yang paling mahal di antara yang lain?" Soonyoung mengisyaratkan tanda kutip ketika menyebut kata 'mahal'.
Seungcheol mampu mendengar suara lirih Soonyoung kendati musik berdentum semakin keras. Ia tersenyum miring seraya mengepulkan asap, menatap asbak yang kian penuh dengan abu dan puntung rokok mahal. "Bagaimana kalau Jihoon sebagai targetnya?"
"Brengsek kau!" Soonyoung menegakkan tubuhnya. Menunjuk wajah Seungcheol dengan kunci Porsche nya. "Jihoon terlalu berharga untuk dijadikan pelampiasan nafsu kalian!"
"Aku hanya bercanda..." Seungcheol meraih bahu Soonyoung, mengelusnya pelan untuk sedikit meredakan emosi. Kwon Soonyoung tampaknya begitu sensitif terhadap apapun yang menyangkut Lee Jihoon, seorang komposer ternama di industri musik Korea.
"Ingat! Jangan pernah sentuh Lee Jihoon atau kalian akan mati!"
"Sayangnya Jihoon sepertinya tak peduli tentang dirimu."
"Kemari kau, Wen Junhui!"
"Sudahlah Kwon! Kau ini berisik sekali!" Mingyu sedikit menaikkan volume suaranya. "Seungcheol Hyung, kau sepertinya ingin menyampaikan sesuatu."
Seungcheol menyandarkan tubuhnya. Menghisap rokok sebelum memulai penjelasannya. "Jeonghan cantik, tubuh indahnya juga bukan main-main. Tapi apakah kalian tidak berfikir jika ia akan menendang penis kalian dengan segala arogansinya? Ayolah, jangan sia-siakan masa depan kalian hanya untuk tendangan Yoon Jeonghan."
Semua yang terlibat dalam obrolan ini terdiam. Kecuali Kwon Soonyoung, yang langsung tertawa keras hingga wajahnya memerah. Sementara Mingyu menelan ludah, angannya untuk berkencan semalam dengan Yoon Jeonghan tampaknya harus tertunda lagi.
~~~
Salju pertama tahun ini. Kota Seoul semakin indah dengan salju tipis yang mulai menyelimuti sejak turun beberapa jam lalu. Anak-anak menyambutnya riang, para orang tua mulai menyiapkan hidangan hangat atau menyimpan kayu bakar untuk perapian. Mereka berkumpul dengan orang-orang terkasih, menghabiskan malam yang semakin dingin.
Kecuali Keluarga Choi, yang diselimuti suasana canggung di tengah ruang keluarga. Choi Seunghyun, sang kepala keluarga yang duduk di atas kursi roda menghisap cerutunya. Mengamati istri dan anaknya yang menunduk takut.
"Seungcheol sudah dewasa. Aku yakin ia sudah bisa bertanggungjawab atas keluarganya nanti." Tuan Choi membuka suara, Seungcheol mengangkat kepala dan menatapnya.
"Maaf, Ayah. Bukankah ini terlalu mendadak?"
"Aku tidak terburu-buru. Kalian mungkin akan berkenalan dan menjadi dekat satu sama lain. Setelah itu, kita tandatangani beberapa perjanjian sebelum kalian berdua menikah."
"Ya Tuhan!" Nyonya Choi, yang semasa muda disapa dengan nama Sandara Park mengelus dadanya. Ia akhirnya menyerukan nama sang pencipta guna meluapkan emosi yang sedari tadi tertahan.
"Kau tak membicarakan hal ini padaku terlebih dahulu, Choi Seunghyun?"
"Dara, aku kepala keluarga. Segala sesuatu yang terjadi pada keluarga ini ditentukan olehku."
Nyonya Choi ingin berteriak. Lagi-lagi merasa tak dihargai sebagai seorang istri. Tuan Choi secara tiba-tiba memanggil mereka berdua, kemudian secara sepihak mengumumkan bahwa Seungcheol akan menikah dengan putri dari salah satu kolega kerjanya. Tanpa membicarakan dengannya terlebih dahulu, atau sekedar menanyakan pendapat.
Seungcheol tertawa keras. Lelucon dalam hidupnya kini bertambah satu. Ia tak pernah menyangka bahwa ia dilarang menentukan masa depannya sendiri. "Lihatlah, Bu. Bahkan untuk menikah saja anakmu ini juga diatur! Bukankah sama saja aku tak memiliki tujuan hidup?"
"Silahkan lepaskan posisimu jika kau menentang Ayahmu, Choi Seungcheol!"
"Silahkan cabut posisiku, Ayah! Kau yakin akan menemukan pewaris yang tahan dengan segala sifat pemaksamu itu?"
"Choi Seungcheol!" Sandara menghentikan pertikaian suami dan anaknya. Matanya mulai basah dan tangannya meremas ujung dressnya sendiri. Ia hanya bisa menangis, semua yang terjadi di rumah ini begitu memuakkan baginya.
"Anakmu hanya ingin mencari kesenangannya sendiri. Setidaknya biarkan ia menemukan cintanya sendiri. Seunghyun, pernikahan atas perjanjian bukanlah hal baik." Suara lembut Nyonya Choi mampu membuat hati putranya melunak. Seungcheol menatap ibunya, yang tengah berusaha terlihat kuat.
"Ini terlalu mendadak, kau tak pernah membahas sebelumnya. Baik aku dan Seungcheol sendiri tentu saja tak terima." Lanjutnya.
"Coba hitung berapa wanita yang berkencan dengan putramu, Dara-ssi. Apakah mereka bertahan lama? Atau sekedar memberikan pengaruh besar pada keluarga kita?"
"Lalu jelaskan padaku apa kurangnya Yoon Jeonghan bagi Ayah?!"
Luka masa lalu, namun Seungcheol masih bisa merasakannya. Tak ada orang yang tahu bahwa ia tak pernah sedikitpun melupakan Jeonghan, atau tak pernah lelah merindukannya sejak lulus SMA. Ia terlihat seperti playboy bajingan yang berkencan dengan banyak wanita demi melupakan masa lalunya.
"Jeonghan... Tidak ada yang kurang darinya." Tuan Choi mengelus dagunya, menatap istrinya penuh ejekan yang membuat Seungcheol ingin menampar ayahnya. "Hanya saja mungkin sebentar lagi ia akan menjadi ibu tirimu."
~~~
"Selamat tidur, Jeonghan. Terimakasih untuk donatnya!"
"Hong Jisoo ini menjijikkan!" Jeonghan berteriak ketika Jisoo mencium pipinya, meninggalkan warna kecoklatan dari selai coklat yang sebelumnya menempel di bibir Jisoo. Adiknya hanya tertawa. Ia justru berlari keluar kamar Jeonghan tanpa perasaan bersalah.
"Jangan lupa untuk menyikat gigimu lagi!" Seru Jeonghan. Kemudian menghela nafas melihat noda coklat di pipinya. Ia baru saja membersihkan wajahnya, namun Jisoo yang ceria dengan mudah mengotorinya lagi.
Namun Jeonghan memiliki sifat malas yang identik dengan Jisoo, sehingga memilih mengelap pipinya dengan tisu basah daripada mencucinya dengan sabun wajah. Ia terlalu malas untuk turun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi yang berjarak beberapa meter darinya.
Jeonghan tersenyum ke arah jendela, salju kembali turun meski tidak terlalu sering. Musim terbaik bagi Jeonghan telah tiba. Membuatnya tak sabar untuk bermain di halaman belakang bersama Jisoo meski usia mereka tak lagi kanak-kanak.
Ia dan Jisoo suka bermain salju, hingga tak jarang kedua istri Henry Yoon mengaitkan mereka dengan karakter animasi dalam film Frozen yang banyak digandrungi orang-orang. Baik Jeonghan dan Jisoo tak mempermasalahkannya, mereka tetap memiliki sisi kekanakan meski Jeonghan tak separah Jisoo.
Jeonghan nyaris melompat dari ranjang ketika ponselnya tiba-tiba berdering dengan nada keras. Ia sontak berlari menuju meja rias, dimana ponselnya berada.
Nomor tak dikenal tengah memanggil, di waktu pukul sebelas malam. Orang-orang mungkin akan malas mengangkat dan memilih mengabaikannya.
Namun Jeonghan adalah orang yang mudah penasaran. Ia berfikir mungkin saja ada hal penting hingga nomor tersebut tak sabar menunggu esok untuk menelponnya.
"Halo?"
'Jeonghan-ssi. Kau tentu mengenal suaraku, bukan?'
Jeonghan menelan ludahnya. Tentu saja ia mengenal jelas suara dari seberang telepon sana. Jantungnya mulai berdebar, suara yang telah lama ia rindukan kembali menyapanya.
"Ya, aku ingat."
'Bisa keluar sebentar? Aku di depan gerbang rumahmu dan satpam tidak mengizinkanku masuk.'
"Di depan rumahku? Apa yang kau lakukan di sana, Choi?!"
~to be continued~
Wadooo ternyata ada alasan tersendiri kenapa Bapake Choi ga mau Cheol sama Hani pacaran😭😭
Oke ini keknya bakal lumayan rumit. Semoga aja mereka bisa bersatu ya :')
KAMU SEDANG MEMBACA
RIVAL | JeongCheol GS
FanfictionTentang Seungcheol dan Jeonghan yang terjebak dendam di masa lalu. Serta rahasia-rahasia lain yang tak pernah disangka sebelumnya. Liku cinta yang rumit mengharuskan keduanya hidup dalam kepalsuan. Akankah bisa berujung manis? Warning! Genderswitch...