7

3.7K 342 66
                                    

Jeonghan terkesiap mendengar pintu kamarnya terbuka. Tanpa harus melihat siapa pelakunya, wanita itu tahu betul bahwa Jisoo pelakunya. Tak ada penghuni rumah yang berjalan dengan tergesa hingga gesekan gaun tidurnya terdengar jelas selain dirinya. Dan itu cukup membuat Jeonghan mengumpat dalam hati karena ia baru saja menutup matanya kurang lebih dua menit yang lalu.

"Yoon Jeonghan!"

Jisoo justru berkacak pinggang. Melihat Jeonghan yang merubah posisinya untuk duduk dengan tajam. Benaknya dipenuhi banyak pertanyaan, sementara bibirnya sudah gatal untuk berteriak keras menuntut jawaban dari Jeonghan.

"Kau belum tidur, Jisoo-ya?"

"Lalu bagaimana aku bisa kemari jika aku sudah tidur, huh?"

Jeonghan duduk bersila di atas ranjang, menunjuk tempat di depannya menggunakan dagu agar Jisoo duduk di sana.

"Dengar, Jeonghan. Aku tidak mau basa-basi jadi tolong dengarkan aku." Jisoo ikut bersila di depan Jeonghan. "Sejak kapan kau berani membawa Seungcheol masuk ke rumah ini?"

Yoon Jeonghan tak pernah menyangka Jisoo akan bertanya demikian. Ia mampu merasakan degup jantungnya yang tiba-tiba menguat seiring tatapan Jisoo yang semakin menuntut. Ia tertangkap, meski saat itu ia yakin rumah ini aman baginya untuk membawa Seungcheol masuk.

"Bagaimana kau tahu?" Suara Jeonghan terdengar nyaris berbisik. Bahkan Jisoo sedikit terkejut melihat Jeonghan yang tak setangguh biasanya, serta raut wajah ketakutan yang benar-benar kentara.

"Kau ini ceroboh. Aku belum tidur saat itu. Dan aku melihat Seungcheol berdiri di balkon kamarmu. Katakan padaku apa yang kalian lakukan malam itu?" Jisoo menyentuh bahu Jeonghan, mencoba meyakinkan saudaranya untuk bercerita. "Tidak masalah, aku berjanji akan menutup mulutku rapat-rapat."

Jisoo selalu bisa diandalkan, oleh karenanya Jeonghan membuka laci meja nakasnya. Mengeluarkan kotak kecil terbuat dari karton berwarna merah muda polos. Kemudian meletakkannya di antara dirinya dan Jisoo.

"Akan kuceritakan dari awal." Jeonghan menarik nafasnya, meyakinkan diri bahwa ini bukan hal yang salah baginya. Hal yang selama ini ia tutup dengan rapat, tak akan lagi menjadi rahasia pribadinya. "Ingat saat Mama Hong bercerita bahwa aku menerima surat darinya saat tengah malam?"

Jisoo mengangguk, kendati pandangannya belum lepas dari kotak karton di depannya.

"Aku membalasnya sepulang dari resepsi pernikahan kalian di kediaman Seokmin. Sejak saat itu, kami sering berbalas surat. Terdengar klise namun itu satu-satunya cara bagiku agar tidak memiliki komunikasi yang intens dengannya. Bukalah jika kau ingin tahu isinya."

Namun Jisoo menolaknya. Kendati rasa ingin tahunya terhadap hal ini begitu besar, ia tetap tak mau melampaui batas. Apapun yang dibicarakan oleh Jeonghan dan Seungcheol, selagi itu tak menyangkut dirinya, Jisoo tak akan ambil pusing.

"Tiba-tiba malam itu Seungcheol menelponku, dan berkata mendapat nomor ponselku dari suamimu--"

"Pantas saja Seokmin berkata bahwa kau dan Seungcheol akan menjadi dekat!" Jisoo menjentikkan jarinya. Beruntung ia mendapat jawaban ini dari Jeonghan, jadi ia tak perlu bertanya pada Seokmin tentang bagaimana ia tiba-tiba memprediksi hubungan kakaknya dengan pria tersebut. Seungcheol pasti bercerita beberapa hal pula kepada Seokmin, dan Jisoo yakin akan hal itu.

Jeonghan terkekeh, tak lagi merasakan keraguan untuk bercerita banyak kepada Jisoo. "Aku tak tahu apa yang membawanya kemari, mungkin ada hal berat yang menggangu pikirannya hingga membuatnya tak memiliki tujuan malam itu. Ia berada di luar, di bawah hujan salju. Dan ia tak tahan dengan udara dingin lebih lama lagi sehingga aku membawanya melalui gerbang belakang."

Jisoo tak pernah sedikitpun mengalihkan perhatian dari setiap penjelasan Jeonghan. Mengajukan banyak pertanyaan hingga keingintahuannya terjawab semua. Dan Jeonghan cukup telaten menghadapinya.

"Malam itu, kami berjanji untuk memperbaiki apa yang harus diperbaiki. Dan menyatukan kembali apa yang telah dipisahkan." Jeonghan menutup ceritanya. Tanpa menceritakan kemana ia pergi bersama Seungcheol setelah pertemuan di tempat Minghao. Nanti, Jeonghan akan menceritakannya pada Jisoo jika sudah saatnya.

"Semudah itu? Maksudku, menyelesaikan ketegangan kalian hanya dalam satu malam?"

"Itulah mengapa kami saling menjauh sebelumnya, Jisoo-ya."

Dahi Jisoo semakin berkerut. Jeonghan menjawab keingintahuannya, namun menambahnya lagi di lain sisi. Hingga Jisoo melupakan Seokmin yang mungkin tengah menunggunya di kamar.

"Ketika kami sedang berdua, tak ada lagi putri pertama Henry Yoon yang ambisius, ataupun pewaris tunggal kekayaan Choi yang berkuasa. Semua akan dibutakan oleh rindu, dan cinta yang belum tersampaikan. Dan kami sudah terjebak malam itu. Jisoo-ya, kau pikir untuk apa kami bekerja keras dan mencoba saling membenci jika bukan untuk melupakan satu sama lain?"

Jisoo tak tahu harus bagaimana ia bereaksi. Ia masih terdiam dengan mulut menganga serta tatapan tak percaya. Jeonghan dan Seungcheol benar-benar melampaui ekspektasinya. Sekarang ia tahu mengapa mereka saling membenci, termasuk alasan dibalik kebiasaan Jeonghan yang suka menolak banyak pria dan Seungcheol yang bersikap bajingan. Mereka masih mencintai, bahkan sejak sepuluh tahun berlalu. Rasa yang berusaha mereka lupakan namun selalu gagal.

"Jadi kau akan kembali ke pelukan Seungcheol?"

"Entahlah." Jeonghan menghela nafas, binar matanya mendadak meredup dan bahunya melemas. "Seungcheol bilang ini akan menjadi hal yang sulit."

🌫️🌫️🌫️


Seungcheol masih tak habis pikir dengan semua yang terjadi pada rumahnya hari ini. Orang-orang suruhan ayahnya mendadak membersihkan rumah, bahkan memajang berbagai pernak pernik mahal yang terkesan berlebihan. Daun-daun tanaman di kebun termasuk rerumputan dipangkas rapi. Dan menjelang waktu makan malam, pelayan di rumahnya memasak jauh lebih banyak dari biasanya.

Sandara pun terlihat tak bersahabat, meski malam ini ia mengenakan pakaian terbaiknya. Sementara Seunghyun sama sekali belum terlihat sejak tadi sore.

"Mengapa semua orang bekerja keras hari ini?"

Salah seorang pelayan rumah, menoleh pada Seungcheol setelah meletakkan panci berisi sup di atas meja makan. "Maaf, Tuan Seungcheol. Tetapi Tuan Seunghyun tidak mengizinkan kami mengatakannya pada Tuan."

"Aku tidak boleh tahu?" Seungcheol mengangkat alis, dan lawan bicaranya mengangguk.

"Permisi, Tuan."

"Ya. Silahkan."

Seungcheol semakin heran. Selama ini ia selalu tahu mengenai apapun yang terjadi di rumahnya. Namun hari ini berbeda. Bahkan Sandara tak mengomel panjang lebar menyuruhnya berpenampilan rapi atau melarangnya keluar sebelum makan malam selesai.

Ia menuju kamar orang tuanya, dan memutuskan berdiri di depan pintu yang terbuka setengah. Ada ayahnya di sana, bersama dengan salah satu ajudannya namun ia tidak menemukan sang ibu.

"Maaf, Tuan. Saya dengar mereka akan datang sedikit terlambat. Sang Nona belum pulang bekerja, dan mereka tidak mungkin datang mendahului dirinya."

Seunghyun mengangguk. Memerintahkan ajudannya duduk di salah satu sofa kamarnya melalui gestur tangannya. "Tidak masalah. Yoon Jeonghan wanita yang sibuk, aku paham itu."

"Yoon Jeonghan?" Bisik Seungcheol nyaris tak terdengar. Ia kembali mengedarkan pandangannya pada pelayan rumahnya yang masih sibuk berlalu-lalang. "Yoon Jeonghan akan kemari?"

Seungcheol tersadar akan sesuatu. Ia berjalan tergesa dan menyambar kunci mobilnya begitu saja. Kemudian pergi ke luar rumah tanpa memperdulikan orang-orang yang menanyakan tujuannya.



~~to be continued~~


Buat yang kemarin bingung kenapa Jeonghan sama Seungcheol tiba-tiba deket lagi, semoga dapet pencerahan ya ehehehe.

Si bapak sama anak udah mulai saingan, nih. Bentar lagi Jeonghan sama calon bininya Seungcheol yang bakal saingan.

RIVAL | JeongCheol GSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang