"Seungcheol, sudah ku bilang di sana dingin. Kau bisa sakit nanti."
Seungcheol tak peduli. Ia masih berdiri di atas balkon kamar Jeonghan dan berkutat dengan pikirannya sendiri. Ia tampak begitu frustasi, rambut hitam yang biasanya disisir rapi, kini dibiarkan berantakan begitu saja. Bibir yang biasanya berkonfrontasi, kini terkatup tak bersuara. Hingga membuat Jeonghan sendiri bingung harus bersikap bagaimana.
Wanita itu tahu Seungcheol tak baik-baik saja, maka ia membawanya masuk ke dalam rumah melalui gerbang belakang yang luput dari penjagaan. Kemudian berjalan menyusuri taman, mengendap dalam rumah dan berakhir di ruang pribadi Jeonghan. Beruntung, mendiang Tuan Yoon tak pernah memasang kamera pengintai di dalam rumah, sehingga Jeonghan berani berbuat senekat ini.
"Kau tak seharusnya membawaku kemari, Yoon Jeonghan."
"Lalu membiarkanmu berdiri di bawah hujan salju? Kau sedari kecil tak tahan dengan suhu dingin jika ku peringatkan kembali."
Seungcheol berbalik, bersandar di pembatas balkon, tersenyum miring sembari menatap Jeonghan yang berdiri di ambang pintu antara kamar dan balkonnya. "Sejujurnya aku tidak akan lama. Aku hanya ingin melihatmu kemudian pergi."
"Ya Tuhan! Lalu untuk apa kau memintaku keluar? Kau bisa melihat fotoku di sosial media atau surat kabar bisnis, bukan? Sia-sia aku membawamu kemari. Kupikir ada hal penting."
Seungcheol merasa bebannya runtuh seketika. Jeonghan memang tak melakukan apapun untuk membantunya menyelesaikan masalah, namun setidaknya wanita itu bisa membuatnya lupa sejenak. Kepergiannya dari rumah tanpa arah yang jelas kemudian berakhir di kediaman keluarga Yoon, ternyata bukan hal yang salah untuknya.
"Terkadang rindu tak cukup terobati hanya dengan memandang foto saja, Yoon Jeonghan."
Jeonghan memutar bola matanya. Merasa muak dengan kebiasaan Seungcheol yang suka membual kepada siapapun. "Masuklah sebelum aku menutup pintu."
Suhu yang semakin menurun tentu saja tak bersahabat dengan Jeonghan yang hanya mengenakan sleepwear dilapisi outer tipisnya. Ia berbalik memasuki kamarnya, duduk di kursi baca dan menyilangkan kaki dengan anggunnya. Sementara Seungcheol menghempaskan tubuhnya di ranjang setelah memastikan pintu balkon tertutup dengan rapat.
"Ranjangmu cukup nyaman. Hanya saja coraknya terlalu feminim."
"Perhatikan tata kramamu, Choi Seungcheol!"
Seungcheol tertawa lepas begitu Jeonghan menghardiknya. Ia sama sekali tak berubah, bersikap bak boneka yang tunduk dengan segala aturan dan norma. Hal itu yang membuat beberapa orang membencinya, terlalu bersikap kaku di kehidupan sosial yang semakin bebas.
"Yoon Jeonghan.."
"Hmm?"
"Bagaimana rasanya hidup dengan banyak aturan?"
"Kau menghinaku?"
"Menghina kau dan aku lebih tepatnya." Seungcheol bangun dan duduk bersila. Menepuk ruang lapang di sebelahnya tanpa mengalihkan pandangan dari lawan bicaranya. "Kemarilah, kita sudah lama tak mengobrol tanpa perdebatan."
Jeonghan tak menolak, meski sempat tertawa jengah melihat sikap Seungcheol yang sembarangan. Ia bahkan tak terkesan menjaga jarak, justru duduk tepat di hadapan Seungcheol sehingga mereka bisa menatap satu sama lain.
"Sebelumnya, berjanjilah untuk menyimpan setiap ceritaku rapat-rapat."
"Ayolah, Seungcheol. Mengingatnya saja aku malas, apalagi harus menceritakannya pada orang lain."
"Sial! Menyebalkan sekali!" Seungcheol menarik tangan Jeonghan hingga wanita itu terdorong ke depan. Kemudian mendekapnya dengan cepat sebelum Jeonghan yang gesit melarikan diri. Memposisikannya untuk duduk menyamping di antara paha sehingga Seungcheol bisa leluasa menatap wajahnya bahkan menyatukan hidung mereka.
"Lepaskan aku, Bajingan!"
~~~
Dunia memang palsu. Seungcheol yakin betul akan hal itu. Apa yang mereka lihat, mungkin saja begitu berlawanan dengan kenyataan. Dan itu tak bisa dibantah.
Termasuk Yoon Jeonghan yang sedari tadi bersikap seolah tak mengenalnya. Ia sibuk bercengkrama dengan yang lain, membahas rencana liburan akhir tahun yang semua biayanya akan ditanggung oleh Xu Minghao, desainer paling disegani saat ini. Namun Jeonghan bahkan tak meliriknya sendikitpun. Atau menyanggah pendapatnya seperti yang biasa Jeonghan lakukan saat berdebat dengannya.
Tidak masalah. Mungkin Jeonghan tengah menyembunyikan fakta bahwa mereka baru saja menghabiskan waktu bersama semalam. Bercengkerama hingga pukul dua dini hari sebelum terlelap kemudian bangun ketika fajar tiba.
Seungcheol membuka pintu mobilnya, menghempaskan tubuhnya dan menutup pintunya kembali dengan kasar. Dengan sigap ia melepas jas beserta dasinya sendiri, kemudian meloloskan dua kancing baju teratasnya. Ia mulai jengah karena harus berpenampilan formal dalam waktu lama.
Pria itu tersenyum miring, ketika melihat Jeonghan berjalan cepat dengan was-was menuju mobilnya. Ia pasti tengah memastikan tidak ada orang lain di sana. Sehingga ia bisa masuk ke dalam mobil di mana Seungcheol sudah menunggunya.
"Sudah lama?"
"Bagaimana sandiwaramu, Nona?"
Jeonghan mendelik ketika pertanyaannya tak terjawab. Mereka saling menatap di bawah pencahayaan minim dari lampu basement yang menembus kaca mobil. Dan lagi-lagi harus Seungcheol akui, Jeonghan tetap terlihat cantik seperti biasanya.
"Berjalan mulus. Aku cukup terkesan dengan caramu yang berusaha menarik atensi dariku."
"Benarkah? Kupikir justru kau yang berusaha untuk tak memperhatikanku."
Sial. Seungcheol selalu tahu bahwa Jeonghan berusaha menutupi sesuatu. Pria itu seolah bisa mengartikan tiap gurat wajah bahkan tingkah lakunya. Singkatnya, Seungcheol adalah satu-satunya orang yang bisa mengenal Jeonghan sedalam ini. Dan itu cukup membuat wanita itu terkesan.
"Sudahlah aku malas berdebat." Jeonghan bersandar dan memejamkan mata. Mencoba menghilangkan penat melalui hembusan nafasnya. Berharap rasa pegal di beberapa bagian tubuhnya menguap seiring berjalannya mobil yang dikemudikan pria di sampingnya.
"Seungcheol, kau tak merasa lelah?"
"Lelah dalam hal apa? Jika itu tentangmu, aku tak pernah merasa lelah."
Jeonghan sudah menebak respon Seungcheol akan seperti ini. Ia memilih diam, melihat jalanan Kota Seoul yang mulai sepi dan nyaris seluruh toko telah tutup. Jeonghan merasa bebas, terkadang berkeliling kota saat suasana sunyi seperti ini merupakan pilihan terbaik untuk sekedar menyegarkan pikiran.
"Ingin berkencan?" Tawar Seungcheol hanya untuk memecah keheningan.
"Tidak. Aku malas."
"Malas atau kau memang tak mahir dalam berkencan?"
"Aku memuaskan nafsumu saat usiaku masih delapan belas tahun. Apa itu belum cukup mahir untukmu?"
"Lebih dari cukup, Nona."
Mereka kembali terjebak dalam keheningan. Sama-sama berkutat dengan kenangan buruk semasa SMA yang selama ini mereka tutup rapat. Seungcheol diliputi perasaan bersalah yang luar biasa karena telah merenggut kesuciannya. Sementara Jeonghan merasa bahwa dirinya tak lagi memiliki harga diri.
Dan Seungcheol tiba-tiba rindu saat dimana ia menyatukan tubuhnya dengan Jeonghan.
~to be continued~
Akhirnya bisa ngumpulin ide buat update di dunia oren yang penuh kehaluan ini (?) Untuk work yang lain, masih mampet ide buat Forbidden Forest. Tapi untuk Lie Again, bakal update dalam waktu dekat kok ehehe.
Oke jadi satu chap isinya momen mereka semua, karena aku pribadi lagi kangen banget sama mereka apalagi Bapak Leader😭😭
Jangan lupa vote dan komentar ya guys~~
See U on next update~
KAMU SEDANG MEMBACA
RIVAL | JeongCheol GS
FanfictionTentang Seungcheol dan Jeonghan yang terjebak dendam di masa lalu. Serta rahasia-rahasia lain yang tak pernah disangka sebelumnya. Liku cinta yang rumit mengharuskan keduanya hidup dalam kepalsuan. Akankah bisa berujung manis? Warning! Genderswitch...