"KEPARAT!"
Seungcheol meringis ketika suara tamparan terdengar di setiap sudut ruang kerja ayahnya. Meninggalkan rona kemerahan dengan rasa panas luar biasa pada pipi kirinya. Terlebih, hatinya mencelos ketika sumpah serapah kembali terujar dari bibir Tuan Choi, entah yang ke berapa kali semenjak ia pulang dari sekolah.
"Apa yang membuatmu tak mampu di posisi satu, huh?"
Putra tunggal keluarga Choi itu menggigit bibirnya bawahnya dengan kepala tertunduk dan mata menatap lurus ke arah lantai. Mengumpulkan keberanian untuk menjawab pertanyaan sang ayah.
"Yoon Jeonghan lebih pintar dariku, Ayah."
"Lalu apa artinya kau ini bodoh?!"
Tuan Choi meradang. Kenyataan bahwa sang putra tak mampu menjadi yang nomor satu membuatnya marah sekaligus malu. Ironisnya, Seungcheol justru dikalahkan oleh gadis yang berasal dari keluarga Yoon yang penuh drama.
"Aku mengatakan pada orang-orang bahwa kau jenius, kau tampan, kau bijaksana. Tapi mengapa kau tak bisa membuatku bangga bahkan sekali saja?"
Seungcheol mengangkat wajahnya. Kedua mata mereka yang bak duplikat itu beradu. Memancarkan amarah yang sama besarnya, hanya saja mata Tuan Choi tak berair seperti mata putra tunggalnya.
"Mengapa Ayah mengatakan hal yang tak bisa kucapai pada orang-orang? Alasan reputasi? Oh ayolah, apa salahnya jujur pada mereka?"
Suara tamparan kembali menggema di ruangan yang didominasi warna coklat itu. Seungcheol tersungkur, meringis dan tertawa kecil melihat betapa lucunya kejadian yang baru ia alami.
Tentu saja Seungcheol benci akan semua ini. Ambisi ayahnya, reputasi keluarga, serta keangkuhan ibunya, semua harus ditanggung olehnya sebagai pewaris tunggal kekayaan Keluarga Choi. Seungcheol hanya ingin tumbuh normal. Menikmati masa remaja, menemukan bakatnya dan mengeksplorasi dunia.
~~~
Seungcheol tertawa penuh ironi ketika mengingat masa remajanya. Sebuah kehidupan penuh komedi yang tak diketahui orang luar. Beruntung, orang-orang lebih memilih membicarakan tentang hubungan kedua istri Tuan Yoon, atau tentang kedua putrinya yang tumbuh dewasa dengan kepribadian yang berbeda, ketimbang mengelukan pewaris tunggal Keluarga Choi yang mempesona.Mengingat masa remajanya, tentu saja memaksanya mengingat tentang Yoon Jeonghan pula. Seorang siswi jenius pada saat itu, mandiri, tegas, dan memiliki mental sekuat baja yang membuatnya tak peduli apapun yang orang-orang katakan tentang dirinya. Kombinasi yang luar biasa, ditambah parasnya cantiknya yang diwariskan oleh sang ibu.
Seungcheol yang tengah merebahkan tubuhnya di sofa kamar, tersenyum lebar seraya menutup mata menggunakan tangannya. Sosok Yoon Jeonghan yang baru saja ia temui beberapa jam yang lalu, masih saja memenuhi benaknya. Jeonghan tetap memukau, namun dengan cara yang berbeda.
"Seungcheol.."
Seungcheol melirik ibunya yang tengah memasuki kamarnya dengan sinis, merasa bahwa wanita itu telah mengacaukan lamunannya. Nyonya Choi duduk di seberang Seungcheol, menyilangkan kaki dan menatap sang putra dengan tajam.
"Choi Seungcheol yang sibuk, kau belum menengok Ayahmu dalam seminggu terakhir ini kan?"
Wanita itu masih saja menatap putranya, yang seolah tak peduli dengan perkataannya. Bahkan, Seungcheol tak merubah posisinya meski tengah berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya.
"Seungcheol, Ibu bicara denganmu!" Tegasnya. Ketika sang putra tak kunjung menjawab.
"Aku tahu. Lagi pula dengan siapa lagi Ibu bicara selain aku? Tak ada orang lain di sini." Seungcheol merubah posisinya. Duduk berhadapan dengan ibunya. "Aku hanya malas melihat Ayah. Dia sudah ditemani kursi rodanya, dan kurasa itu lebih baik daripada aku berada di sampingnya."
"Seungcheol!"
"Maaf, tapi aku sudah lelah. Bisakah Ibu keluar dari kamar ini dan membiarkanku tidur?"
Nyonya Choi terdiam. Lagi-lagi tersadar bahwa Seungcheol tak dibesarkan dengan baik selama ini. Ia pembangkang, keras kepala dan tak peduli pada siapapun. Ah, sejenak ia menyesal. Ia merasa gagal dalam mendidik putra satu-satunya.
"Ibu..."
"Baiklah, Ibu akan pergi! Beristirahatlah, kau besok malam harus datang ke perjamuan makan di rumah menantu Keluarga Yoon." Nyonya Choi berdiri, kemudian berjalan cepat keluar dari kamar anaknya. Menutup pintu dengan kasar yang sempat membuat Seungcheol terkejut.
Benar. Seungcheol harus pergi ke kediaman Lee Seokmin besok malam. Bukankah itu berarti ia akan bertemu Yoon Jeonghan kembali?
~~~
"Jeonghan? Kupikir kau sudah tidur." Jeanine Hong menuruni tangga, menyapa putri tirinya yang tengah membaca buku di dekat perapian. Merasakan suasana tak biasa karena pada jam-jam seperti ini, seisi rumah akan terlelap termasuk seluruh pelayan.Jeonghan mendongak dan tersenyum tipis. Sleepwear sutra yang dilapisi kimononya berkilat ketika diterpa cahaya dari perapian. "Aku tidak bisa tidur."
Jeanine duduk di depan Jeonghan. Menatapnya dari ujung kaki ke ujung kepala. Luar biasa, Jeonghan terlihat begitu anggun dan penuh wibawa bahkan di saat tak memakai riasan seperti ini. Kontras dengan Jisoo, yang lebih banyak tingkah dan lebih cerewet dari pada kakak tirinya.
"Ibu sendiri mengapa belum tidur? Ini sudah tengah malam."
Jeonghan tak membedakan Jeanine dan Jinah. Ia menganggap mereka semua sama, begitupun Jisoo. Bahkan tak jarang, Jisoo lebih bersikap manja pada ibu tirinya. Jeanine tak seekpresif Jinah, sehingga kadang ia tak mampu mengimbangi sifat Jisoo yang cenderung kekanakan.
"Aku masih dalam suasana haru akan pernikahan Jisoo. Terdengar sedikit berlebihan tapi, ah itu sesuatu yang tak bisa dijelaskan." Jeanine terkikik, menyelipkan rambut coklatnya ke belakang telinga.
"Aku jadi ingin menikah, Ibuku pasti iri denganmu."
Tawa keduanya terdengar riuh di ruang keluarga Yoon yang artistik. Lepas seolah tanpa beban, sebelum akhirnya melemah ketika salah satu pelayan menghampiri mereka.
"Nona, seseorang mengirim surat untukmu. Berhati-hatilah, suratnya tanpa nama pengirim dan diantarkan tengah malam seperti ini."
Jeonghan menatap ibu tirinya dengan ragu ketika mengambil suratnya. Sementara Jeanine mengangguk meyakinkan Jeonghan, bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Bacalah." Titah Jeanine ketika pelayan itu telah pergi kembali ke kamarnya.
Jeonghan membuka amplop surat dengan tidak sabaran. Melemparnya begitu saja ke perapian hingga bara api mengkilat semakin besar. Kemudian membaca suratnya dengan dahi berkerut.
"Hanya ucapan selamat malam. Tidak ada yang perlu ditakuti." Jeonghan menyandarkan tubuhnya dengan santai. Membolak-balikkan kertas yang hanya berisi satu kalimat dengan senyum remeh.
"Ucapan selamat malam tanpa nama pengirim?" Jeanine mengangkat satu alisnya.
"Choi Seungcheol. Ini tulisan tangan Seungcheol."
~to be continued~
Hayolohh mereka mau ketemu. Akankah nanti tumbuh benih cinta? Atau justru rivalitas makin kuat?
Btw buat silent reader, dimohon tinggalkan jejak disini ya hehehe. Biar aku makin semangat lanjutin cerita ini <3
Forbidden Forest? Tenang, chapter selanjutnya udah 50%, beberapa hari lagi bakal aku publish <3
KAMU SEDANG MEMBACA
RIVAL | JeongCheol GS
FanfictionTentang Seungcheol dan Jeonghan yang terjebak dendam di masa lalu. Serta rahasia-rahasia lain yang tak pernah disangka sebelumnya. Liku cinta yang rumit mengharuskan keduanya hidup dalam kepalsuan. Akankah bisa berujung manis? Warning! Genderswitch...