“Nyonya Jisoo. Nona sudah pulang.”
Jisoo mematung sejenak. Tulisan-tulisan dalam buku yang ia pegang berhenti utnuk dibaca. Ia masih menatapnya, namun otaknya bekerja untuk hal lain. Lantas ia mendongak, menatap salah satu pelayan kepercayaannya yang turut memasang raut was-was.“Dimana kedua ibuku?”
“Mereka keluar untuk makan siang, Nyonya.”
“Terima kasih.” Bisa dibilang buku itu tengah dilempar olehnya menuju meja di samping kursi baca dimana ia duduk. Kini ia berdiri, merapikan penampilannya dan memasang raut normal seolah semalam tak terjadi apa-apa di rumahnya.
“Ingat, bersikap seperti biasa.” Jisoo menepuk pelayannya sebelum melenggang pergi menemui Jeonghan.
Jisoo tak perlu mengetuk pintu kamar Jeonghan atau sekedar mengucap permisi, ia masuk begitu saja bahkan tak peduli akan kemungkinan bahwa Jeonghan sedang lelah. Ia langsung duduk menyilangkan kaki di atas sofa, menatap kakak tirinya yang sedang mengikat rambutnya.
“Dari mana kau semalam?”
“Seokmin tak menyampaikan padamu?"
“Tentu saja ia mengatakan. Oleh karenanya aku bertanya padamu. Kau berbohong, bukan?”
Jeonghan menghela nafas, rasa pegal di sekujur tubuh belum pulih sepenuhnya. Pening akibat berfikir terlalu banyak selama perjalanan belum sirna. Namun kini Jisoo tengah menginterogasinya, dan dilihat dari profesinya, Jisoo tak akan sabar jika jawaban yang ia minta harus ditunda.
“Jika sadar aku berbohong, mengapa masih bertanya?” Jeonghan melucuti seluruh pakaiannya dan menyambar bathrobe baru dari dalam lemari. Melapisi tubuhnya dalam gelungan lembut dari serat bathrobe yang ia pakai. “Aku akan mandi. Ada pertanyaan lain?”
“Lanjutkan.” Titah Jisoo.
“Maksudmu?”
“Kau dan Seungcheol. Lanjutkan. Jangan gagal untuk yang kedua kalinya.”
Alis Jeonghan bertaut. Mencerna maksud dari perkataan Jisoo namun ia tak menemukan apapun. “Berbicaralah yang jelas, Jisoo.”
“Aku hanya menyampaikan pesan saja, Hannie. Kau dan Sengcheol, tidak boleh terkalahkan. Itu saja. Mungkin kau berfikir ini tidak berguna, namun sadarlah.” Jisoo berdiri menuju pintu. Meraih gagangnya dan bersiap untuk keluar. “Kalian tak memiliki jalan yang mudah.”
Nyaringnya suara pintu tertutup pun mengakhiri perbincangan mereka. Meninggalkan Jeonghan sendiri dalam kamar yang sunyi hingga ia bisa mendengar deru nafasnya sendiri.
“Apa ia baru saja mabuk? Mengapa justru siluman kucing itu lebih ambisius dariku?” Jeonghan bermonolog ketika Jisoo tak lagi berada dalam pandangannya.
***
Seungcheol tak bisa menelan sebutir nasi sama sekali. Ia hanya mengaduk makanannya, mengedarkan pandangan para orang-orang yang mengelilingi meja makan, kemudian menenggak air putih untuk meredakan atmosfer tak nyaman dalam dirinya. Ia menyesal atas keputusannya untuk pulang, dimana kini ia terjebak dalam suasana yang memuakkan.
Di ruang makan, bersama orang tuanya dan tamu ayahnya yang tak pernah ia duga. Jang Doyoon, orang kaya baru yang masih berstatus kekasihnya secara membingungkan datang memenuhi undangan makan siang dari Choi Seunghyun bersama ibunya. Memakai pakaian terbaiknya yang terlihat berlebihan di mata Seungcheol serta bersikap ramah yang sengaja dibuat-buat. Alasan kuat mengapa Seungcheol tidak perlu menatap dua tamunya sedikit pun.
“Ngomong-ngomong, Choi Seungcheol belum berbicara sejak kita memulai acara ini.” Sindir Nyonya Jang pada akhirnya. Diakhiri dengan mengangkat gelas berisi air putih dan menenggaknya sebagian.
KAMU SEDANG MEMBACA
RIVAL | JeongCheol GS
FanfictieTentang Seungcheol dan Jeonghan yang terjebak dendam di masa lalu. Serta rahasia-rahasia lain yang tak pernah disangka sebelumnya. Liku cinta yang rumit mengharuskan keduanya hidup dalam kepalsuan. Akankah bisa berujung manis? Warning! Genderswitch...