"Seisi kota tampak berwarna hitam hari ini." Keluh Jinah bersamaan dengan pintu kamar yang tertutup. Gaun sutra hitamnya bergesek pelan seiring kakinya melangkah menuju sofa bergaya vintage lawas yang belum juga ia ganti meski sang putri, Yoon Jeonghan memaksa untuk membelikan yang baru. Alasan bahwa itu adalah pemberian dari Henry Yoon pada ulang tahun pernikahan mereka yang ke dua puluh, membuatnya enggan bahkan untuk sekedar memindahkan posisinya.
"Mungkin saja mereka tak hanya berkabung atas kematian Mingyu dan Doyoon." Jeanine, yang berdasarkan persetujuan Jinah untuk memakai kamar yang sama sejak kematian Tuan Yoon, melempar mantelnya secara asal ke atas ranjang. "Lebih tepatnya, akal sehat dan nurani juga sudah mati bersamaan dengan mereka."
"Jika benar Kim Mingyu membunuh orang dengan menyayat perut dan mencabiknya kemudian tewas dalam kecelakaan yang ia sebabkan sendiri, artinya ia tengah mendapat karmanya dengan instan."
Jeanine tersenyum miring, rumor bahwa Kim Mingyu lah pelaku pembunuhan terhadap Jang Doyoon kini menjadi buah bibir di Seoul. Orang-orang mulai bertanya tentang motif pembunuhan ini, sementara berbagai media massa tak ada satupun yang membahas hal tersebut. Barang bukti, foto TKP bahkan bocoran CCTV tak terlihat sedikitpun. Memunculkan spekulasi bahwa media sedang dibungkam untuk menutupi rahasia dibaliknya.
"Adanya rumor bahwa Jang Doyoon menjadi dalang atas kematian adiknya, kurasa ia juga sedang mendapatkan balasannya."
Im Jinah mengangguk setuju. Secuil rasa prihatin muncul dalam dirinya, namun ia tak begitu mengindahkannya. Orang-orang tersohor seperti mereka, memiliki beberapa kisah kelam tersendiri yang tak bisa diketahui oleh khalayak. Dan ia cukup mengerti mengapa investigasi kasus kematian keduanya dihentikan secara mendadak dan media seolah dibungkam.
"Kau akan tetap pergi ke kediaman Choi Seunghyun malam ini, Nana?"
"Lebih tepatnya kita, Jeonghan, Jisoo, Seokmin, dan seseorang yang penting dalam hal ini."
Jeanine menatap Jinah ragu dari atas ranjang. "Kau ingin segera meluruskannya?"
"Secepat mungkin agar Jeonghan bisa lepas darinya."
"Ibu." Seokmin masuk tanpa permisi, membuyarkan obrolan penting yang mereka mulai. Tangannya menenteng sebuah map, dan setelan resmi yang melekat di tubuhnya menandakan ia baru saja pulang dari suatu tempat. "Aku membutuhkannya segera."
Kedua istri Henry Yoon saling berpandangan, kemudian secara serentak menoleh menatap sang menantu.
"Im Jinah-"
"Tidak, Jeanine. Kau yang melakukannya."
Permintaan Jinah membuat mata Jeanine dan Seokmin membola mendengarnya. Raut wajahnya tak sedikitpun menunjukkan keraguan, seiring bibirnya menyunggingkan senyum meyakinkan. "Kau berhak dalam hal ini. Dan aku sendiri yang akan mengurusi pernikahan putriku."
*****
Jisoo merasakan deja vu. Berada di depan meja makan milik Keluarga Choi, menyantap hidangan yang terlalu mewah untuk sekedar makan malam, mendengar argumen saling menjatuhkan dari orang-orang di sekitarnya, ia mulai terbiasa dengan hal semacam ini. Namun tidak bagi Yoon Jeonghan, yang pertama kali menginjakkan kaki di sini. Memilih bungkam sejak tadi, Jeonghan bahkan belum juga menyantap makanannya sedikitpun.
"Aku tak menyangka kau mengajak seluruh keluargamu, Im Jinah. Tentu saja aku sangat mengapresiasinya." Choi Seunghyun berujar dengan suaranya yang semakin serak. Sepasang manik dibalik kacamata hitamnya masih setia menelisik sosok Jeonghan yang duduk jauh di ujung meja.
"Bukankah kita akan membahas sesuatu yang penting? Bahkan putramu turut hadir saat ini." Jinah menunjuk Seungcheol dengan dagunya. Sementara Tuan Muda Choi hanya sibuk menenggak minumannya, tak berselera untuk membuka suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
RIVAL | JeongCheol GS
أدب الهواةTentang Seungcheol dan Jeonghan yang terjebak dendam di masa lalu. Serta rahasia-rahasia lain yang tak pernah disangka sebelumnya. Liku cinta yang rumit mengharuskan keduanya hidup dalam kepalsuan. Akankah bisa berujung manis? Warning! Genderswitch...