Orlee menatap lelaki tampan di hadapannya. Senyum tak pernah luntur terukir di bibir lelaki yang mengaku bernama Pramudya Alvero itu.Keduanya sedang berada di sebuah kafe. Oh tepatnya Orlee yang sedang menikmati jam istirahat siang untuk mengganjal perut di hampiri oleh Alvero.
Untuk pertemuan pertama kali, Alvero jelas lelaki yang cerewet namun mengobrol dengannya cukup asik.
Tapi Orlee tidak suka cara mata Alvero memandangnya, seolah Orlee adalah es krim super lezat dan menggoda yang sangat cocok di saat musim panas.
Dasar buaya ileran.
"Orlee. Beneran lo belum punya pacar?" tanya Alvero. Ini sudah terhitung ketiga kalinya ia melayangkan pertanyaan untuk perempuan manis di seberang meja.
"Please, lo nggak tuli 'kan. Bukankah tadi udah gue jawab," ketus Orlee.
"Hehe, gue hanya ingin mastiin aja, biar di kemudian hari nggak ada yang perlu di cemaskan," ujar Alvero sambil tersenyum lebar, berharap Orlee dapat melihat pesona dirinya.
"Di kemudian hari, itu maksudnya apa?" tanya Orlee.
"Ya, eh...anu, gue kayaknya suka ama lo sejak pertemuan pertama kita. Ja-jadi mau nggak lo jadi pa...," lelaki itu tidak jadi melanjutkan perkataannya saat ada yang terasa aneh pada celana bagian atasnya. Lebih tepatnya pada bagian juniornya.
Terasa dingin. Aneh.
"Kenapa?" tanya Orlee.
Bukannya menjawab, Alvero malah mendorong mundur kursinya dan melihat celana yang terasa dingin.
Di sana, tepat di atas juniornya ada es krim. What the hell!! Siapa yang berani meletakkan es krim di atas pusaka masa depan kebanggaannya.
"Ups, Sory Om. Es krim Ian nggak sengaja jatuh," ucap seorang bocah dengan muka tanpa dosa seraya menjilat es krim di tangan kanannya. Sementara tangan kirinya terdapat satu cup kosong yang isinya sudah berpindah tempat.
"Dasar bocah nakal! Lo seharusnya hati-hati!" tangan Alvero hampir menjewer telinga si bocah namun mulut mungil itu sudah lebih dulu berteriak.
"Mama... Ian takut. Om itu galak seperti kucing kena injak ekornya," Ian berlari menghampiri Orlee.
Sementara Alvero, belum lenyap rasa kesalnya kini sebuah kenyataan menamparnya. Bocah itu memanggil Orlee, Mama.
Tapi... Tapi... Bukannya tadi Orlee bilang belum punya pacar. Kepala Alvero bolak balik menatap Orlee dan bocah yang berusia sekitar lima tahun itu.
"Lo... Lo bukannya tadi bilang belum punya pacar tapi kenapa bocah ini manggil lo mama?" tanya Alvero.
"Belum punya pacar bukan berarti belum punya anak 'kan?" Orlee balik bertanya. Sementara Ian tersenyum licik di sampingnya.
Mulut Alvero terbuka ingin memaki, namun Orlee dan Ian sudah dulu melangkah pergi.
Sebelum benar-benar menghilang dari pandangan Alvero, Ian berteriak, "Om cepat ganti celananya, nanti burung Om kedinginan."
Teriakan itu tentu saja mengundang setiap mata di kafe itu tertuju pada Alvero. Lelaki itu geram dan mengumpat dengan wajah memerah dan meninggalkan kafe karena sudah sangat malu.
.
.
.Lihat. Cara ajaib itulah yang Orlee gunakan untuk mengusir setiap lelaki yang mencoba mendekatinya.
Ian tentu saja ikut ambil bagian, bocah itu sungguh pandai jika di suruh bersandiwara, asalkan di suap dengan kinderjoy, urusan akan berjalan lancar.
"Kali ini kinderjoynya lebih banyak ya, Ma. Ian 'kan udah capek-capek berakting kayak pemain sinetron," ucap Ian ketika mereka berjalan menuju ke toko bunga mereka.
"Oh tentu saja. Aktingmu tadi sangat bagus, Mama acungi dua jempol untuk Ian," ujar Orlee bangga.
Ian terkekeh, tangan mereka yang bergenggaman bergerak seiring. "Siapa dulu gurunya, Mama Orlee, hohoho." tawanya terdengar begitu sombong.
Orlee, di usia yang sudah dua puluh sembilan tahun belum menikah. Dia sangat suka pada anak kecil sehingga ia meminta keponakannya, Ian untuk memanggilnya Mama.
Ian tamengnya. Untuk mengusir para lelaki yang berusaha mendekat. Tidak peduli lelaki itu baik, jahat, serius atau hanya pura-pura ingin menjalin hubungan dengannya.
Yang jelas Orlee akan menjadikan Ian tamengnya, karena ia tidak akan pernah ingin menjalin sebuah hubungan apalagi sampai ke jenjang pernikahan.
Bukan tanpa alasan, hanya saja Orlee masih trauma jika kembali menjalin hubungan. Ia takut akan kembali merasakan sakit seperti beberapa tahun lalu, yang sekarang sudah mulai ia lupakan.
.
.
."Orlee... Jangan beliin Ian kinderjoy terus!!" sebuah seruan dari pintu toko bunga milik Orlee. Di sana, Irish. Kakak kembarnya sekaligus Mami Ian berdiri dengan muka sangarnya.
"Ups, macan alias mami cantik bakalan ngamuk, Ma." ucap Ian.
"Seperti biasanya, Ian hanya perlu memasang wajah memelas." ujar Orlee.
"Aku mendengarmu, Lee. Kalian ini kayaknya udah nggak anggap aku sebagai seorang Mami. Ke mana-mana pergi berdua, jarang punya waktu untuk Mami. Ian, yang melahirkan kamu Mami atau Mama Orlee?" tanya Irish kesal seraya meletakkan kantong yang Orlee yakin adalah belanjaan.
"Jelas Mamilah. Kan Mama Orlee cuma cadangan," celetuk Ian asal.
Irish tersenyum dan mencium pipi Ian. "Uluu, pinternya anak mami yang ganteng ini."
Orlee memberengut kesal, "itu mulut mau di lakban kali."
Ian dan Irish terkikik geli melihat wajah kesal Orlee.
"Yang ngaku udah dewasa tapi suka ngambekan, siapa sih sayang?" goda Irish pada Ian.
"Kayaknya Ian penah lihat deh, Mi," Ian pura-pura berpikir keras. "Tapi di mana ya." ia ikutan menggoda.
"Ejek aja terus," ujar Orlee sambil beranjak, namun suara lonceng pintu menandakan ada pengunjung datang mengurungkan niat Orlee untuk ke belakang.
Saat beralih menatap si pengunjung, mulut Orlee terbuka melihat lelaki dengan potongan rambut undercut berwarna biru dongker sedang berjalan kearahnya.
Was-was Orlee berusaha memasang tembok tak kasat mata.
Tembok yang ia bangun untuk melindungi hatinya dari serangan mengerikan yang bernamakan MANTAN!!
bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
A Love For Orlee 🔚
Fiction généraleCicilia Orlee, gadis berusia dua puluh sembilan tahun, pemilik toko bunga sangat menyukai anak kecil, terutama pada Ian, keponakannya. Namun, di usianya yang sudah cukup matang Orlee masih setia menyendiri. Bukan tanpa alasan, Orlee masih trauma unt...