Jangan lupa votenya yaSetelah Dean pulang. Orlee memilih mengabaikan Jonah dan Bee yang masih berpelukan, tanpa menoleh ia sudah berjalan menjauh masuk ke dalam gedung dan menuju unit apartemennya.
Orlee segera menuju dapur dan mengisi gelas dengan air, lalu menghabiskan air dengan cepat. Ia butuh banyak air, hari ini cukup panas. Sepertinya berandam air dingin terdengar sangat bagus.
Baru saja akan melangkah menuju kamarnya. Terdengar bunyi bel. Orlee mendengus kasal kala bel di tekan secara beruntum.
Ia akan menendang siapa saja yang bertamu dan membunyikan bel di luar sana.
"Lee, bisa tolong aku. Bee pingsan, aku nggak mungkin bawa dia ke apartemen aku," saat Orlee membuka pintu. Terlihat Jonah yang sedang menggendong Bee.
Kening Orlee tentu saja bingung. Untuk apa Jonah cemas jika Bee masuk ke apartemennya dan malah membawa ke apartemen Orlee.
"Emangnya kenapa nggak di bawa ke apartemen kamu aja. Aku rasa Bee juga sering main ke sana," ujar Orlee.
"Iya sering, tapi nggak dalam keadaan pingsan kayak gini, Lee," kata Jonah.
"Astaga, Jo. Nggak ada yang peduli jika kamu bawa Bee yang pingsan ke apartemen kamu," sanggah Orlee.
"Ada. Calon istri aku nanti bakalan berpikiran negatif," ujar Jonah.
"Kamu gimana sih. Calon istri kamu aja lagi pingsan gitu. Lagian kamu juga, jadi cowok harus perhatian sedikit dong. Masa calon istri di biarkan pingsan," oceh Orlee.
"Lee, mau aku cium atau aku bawa ke pelaminan!" ancam Jonah.
"Fine," Orlee menyerah dan membiarkan Jonah membawa Bee masuk. Lelaki itu dengan telaten membaringkan Bee di sofa dan memperbaiki posisi Bee.
"Bisa pinjam selimut, nggak?" tanya Jonah.
Tanpa menjawab Orlee bergerak untuk mengambil selimut sekaligus bantal. Ia kembali dan menyerahkan selimut dan bantal pada Jonah.
"Makasih ya," ucap Jonah. Dengan segera ia menyelimuti tubuh dan meletakkan bantal di bawah kepala Bee. "Adem banget, Lee, lihat kamu yang mau bantu walau aku tahu kamu sedang lelah."
"Adem? Kamu kira aku kulkas atau AC. Lagian bukan aku niat mau bantu, tapi kamu yang maksa," ujar Orlee.
"Aku tahu kamu tulus, walau mulut kamu membantah," ucap Jonah pelan sambil mendekat ke arah Orlee.
"Ck, bikin repot aja," gerutu Orlee. "Lagian alasan kamu nggak masuk akal. Calon istri marah, padahal yang pingsan itu calonnya."
Jonah terkekeh, "calon istri aku ini nih, yang lagi ngomel." ia mencubit pipi Orlee pelan.
"Bukan aku, tapi Bee. Jo, aku tahu kata yang keluar dari mulut kamu dengan yang ada di hati kamu nggak sinkron," Orlee menepis tangan Jonah.
"Cuma menurut kamu, Lee,"
"Mata aku nggak buta, Jo,"
"Kamu lihat aku peluk Bee tadi?"
"Ihh, nggak ada,"
"Tapi aku lihat kamu di antar sama Dean. Kalian berdua cukup lama dalam mobil dan aku pastikan kamu lihat kita,"
"Kalau aku lihat, apa masalahnya?"
"Anggapan negatif berkeliaran di otak kamu. Dari awal aku bilang cuma kamu perempuan dalam hidup aku, nggak ada Bee atau perempuan lainnya. Namun kamu selalu nggak percaya dan menganggap perkataan aku cuma angin lalu. Harus berapa banyak lagi aku katakan kalau bukan Bee yang aku cintai, melainkan kamu!" jelas Jonah.
"Jo, pertemuan pertama kita setelah sembilan tahun lamanya, aku udah nggak punya rasa sama kamu. Terlepas dari fakta yang terlambat aku ketahui, aku sebenarnya tidak ingin mengulang apa yang pernah terjadi di antara kita. Pinta aku sekarang, bisakah kita hanya berteman saja?"
"Nggak bisa, Lee. Kamu dan aku, kita nggak bakalan bisa berteman. Karena aku tahu dalam hati kamu rasa itu masih ada. Kalau aku udah pasti, jadi apa yang kamu ragukan?" tanya Jonah.
"Apa yang aku lihat udah cukup jadi bukti," jawab Orlee.
"Haha, Lee, benar kata Juan kalau kamu itu masih kayak remaja labil," ucap Jonah. Ia meraih pipi Orlee dengan tangannya. "Pernah dengar 'jangan menilai buku hanya dari sampulnya'. Nah, di sini kamu seperti itu, Lee. Hanya mendikte dari apa yang kamu lihat saja, di balik semuanya kamu nggak tahu."
"Aku bingung, Jo,"
"Apa penjelasan Juan kurang kamu pahami? Kalau kurang biar aku jelaskan ulang,"
"Bukan itu masalahnya!"
"Lalu apa?" tanya Jonah menuntut.
"A-aku...," Orlee sudah berbicara, namun ia langsung kehilangan kata-kata. Bagaimana pun mendebat Jonah akan berakhir sia-sia karena mulut Jonah itu licin dan pintar memutarkan balik semua perkataannya.
"Kamu nggak bisa memberi aku alasan," Jonah meraih pinggang Orlee dan merapatkan tubuh mereka. "Itu karena kamu meragu dengan perasaan kamu sendiri." ia menunduk, menyatukan kening dan dengan sengaja menyetuh hidung Orlee dengan miliknya. "Kali ini jangan keras kepala ya."
"Kita nggak bisa,"
"Santai, Lee," bisik Jonah. "Sory, kali ini aku nggak khilaf." ia menyatukan bibir mereka dengan satu kecupan lembut. Di susul kecupan ringan lainnya.
.
.
.Orlee merasa tidurnya terganggu, namun rasa hangat yang menyelimuti tubuhnya membuatnya enggan beranjak dari tempat tidur.
Ia memilih kembali bergelung untuk semakin mencari kehangatan dari selimut kesayangannya.
Namun ada jari usil yang menusuk pelan pipinya dan itu sangat mengganggu Orlee.
"Ian, jangan ganggu mama. Hari ini mama mau tidur seharian, jadi kamu sama mami aja," guman Orlee. Ia semakin menenggelamkan diri di balik selimutnya.
Tapi jari usil itu tidak mau meninggalkan pipinya, seolah senang bermain dengan kulit halusnya.
"Ian, dengar mama 'kan?"
"Ian? Apa ada tubuh anak usia lima tahun gede kayak gini," suara baritone itu menyapa Orlee.
Seketika tubuh Orlee kaku di tambah ia mengenal suara siapa yang berbisik di telinganya. Dan Orlee baru menyadari jika ia sedang memeluk seseorang.
Jadi kehangatan yang tadi. Yang usil padanya. Itu bukan Ian, melainkan....
"Jonah," Orlee mendorong Jonah menjauh dan menatap lelaki yang tersenyum ke arahnya.
"Selamat pagi calon istri," Jonah mengecup kening Orlee, namun Orlee secepat mungkin menjauh.
"Kamu... Apa yang kamu lakukan di kamar aku?" Orlee mengenal kamarnya dan selimut yang ia pakai, begitu juga dengan bed covernya.
"Really, kamu nggak ingat apa yang kita lakukan semalam?"
Tentu saja jawaban Jonah menimbulkan banyak pertanyaan yang berputar di otak Orlee.
Apa yang mereka lakukan? Orlee rasa tidak ada, lagipula semalam ia tidak sedang mabuk.
"Nggak ada, Jo. Kamu nggak usah bikin ulah ya!" ancam Orlee.
"Bikin ulah gimana coba? Kan kita emang melakukan sesuatu semalam."
"Jangan main-main!"
"Semalam kita berciuman. Ingat berciuman, karena kamu balas aku, Lee. Kamu tahu, aku senang luar biasa. Dari situ aku jadi tahu perasaan kamu. Rasa itu nggak pernah pergi dari sini," Jonah menyentuh dada atas Orlee. "Makasih." bisiknya. "Dan aku cinta kamu, Lee, selalu."
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
A Love For Orlee 🔚
Ficción GeneralCicilia Orlee, gadis berusia dua puluh sembilan tahun, pemilik toko bunga sangat menyukai anak kecil, terutama pada Ian, keponakannya. Namun, di usianya yang sudah cukup matang Orlee masih setia menyendiri. Bukan tanpa alasan, Orlee masih trauma unt...