4. The Imaginary Friend

40 6 0
                                    

Padahal kami hanya sekadar main-main, tetapi jujur saja aku menikmati semuanya. Intinya kami masih dekat, masih bisa mengobrol apa saja, dan masih bisa bersenda gurau. Aku tau semuanya takkan abadi. Perasaan takut selalu menyelimuti kala mengingat jika harus menghadapi semuanya. Perpisahan, acuh, atau bahkan terlupakan. Jadi, lebih baik kunikmati semuanya saat ini.

Pagi yang cerah, kusambut dengan senyum merekah. Tersipu kala mengingat semuanya.

"Fell, kayaknya lo udah lupain Vano deh. Dulu aja bahas dia terus sekarang mah beda yah."

Deg!

Perkataan Hana seakan menyentakkan semua ingatanku. Ingatanku pada Vano, pada semuanya. Apa aku ... Melupakan sesuatu?

Vano Fransdicka. Pemuda yang selalu bisa membuatku tersenyum kala mengingatnya. Menikmati setiap detik kebersamaan kami setelah sosok Dava jauh dalam pandangan serta gapaian. Vano temanku, teman imajinasiku yang kuharapkan akan menjadi nyata.

"Enggak tuh. Ntar gue bikin cerita tentang Vano lagi kok," jawabku sedikit ... Ya, aneh mungkin.

"Jangan lupain gue! Btw, masih 'ekhem-ekhem' sama Veno?"

"Hm. Tapi lo tau sendirilah."

"Hati-hati, Fell."

"Asyiiaapp. Palingan gak lama lagi tuh."

"Hahaha, dasar aneh."

Kami kembali bersenda gurau sembari menunggu kedatangan Reina. Namun, aku terus memikirkan Vano. Perasaan bersalah timbul tanpa bisa kutepiskan.

***

Kududukkan tubuhku yang letih ini. Pikiranku terus tertuju pada Vano juga Veno. Benar-benar menganggu pikiran.

"Maafin gue. Gue ingkar janji,"gumamku perlahan berimajinasi akan dirinya.

Tidak ada jawaban. Namun, aku bisa merasakan dia mendengaranku. Duduk di sampingku sambil menatap lembut. Tangannya terulur membelai rambut dan pelukannya. Oh shit! Khayalan yang sungguh indahkan?

"Gue tau gue salah. Gue tanpa sadar menggantungkan harapan lebih sama Veno. Gue tanpa sadar nganggep Veno itu lo yang nyata, Vano. Gue tau gue salah, kalian beda. Tapi rasanya sama. Gue bahagia."

Jika ada yang melihatku, pasti akan menganggapku gila. Hei, itu sudah pasti. Aku tengah mengobrol sendiri.

"Ah, enggak. Kami main-main, Ven. Tapi ... Gue takut. Gue takut masa itu akan datang. Ya, meski gue tau pada masanya semuanya bakal mengalami itu. Tapi dia ... Gue aja gak yakin, Ven. Bener-bener teman yang buruk dan parahnya gue nganggep dia sahabat gue."

Aneh. Kurasa jiwaku benar-benar tak beres. Berhalusinasi berlebihan, dunia imajinasi yang dengan mudah kuciptakan meski mereka tak berwujud, tapi batinku seakan merasakan setiap kehadiran mereka.

"Ini gak bakal lama kok. Selain Dava, lo tetap yang terbaik. Nanti gue bikin cerita tentang kita berdua. Gue janji."

Perlahan kurebahkan tubuhku yang semakin letih. Menenangkan pikiran aneh yang terus berkecamuk. Tak butuh waktu lama aku terlelap mulai menjelajahi alam mimpi.

"I love you," ujarku lirih sebelum mata ini tertutup.

Berharap resah segera pergi. Namun, ia seakan tengah memandangku dengan tatapan teduh dan senyum manis yang terukir di wajahnya membuatku ikut tersenyum hingga tertidur.

End

KUMCER (Kumpulan Cerita Pendek dan Cerita Mini)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang