48. Perasaanku

3.2K 210 64
                                    

“benarkah?”

Gadis mungil itu mengangguk tipis. “kamu jaga diri baik-baik ya. Maaf, kakak ga bisa ngelindungin kamu lagi.” Seorang bocah laki-laki yang badannya lebih kecil dari pada gadis didepannya ini terlihat berkaca-kaca.

Kedua matanya berair. “ih! Jangan nangis dong!”

“nanti.. kita bisa ketemu lagi kan?” gadis itu mengangguk menjawab pertanyaan anak laki-laki didepannya ini. Sama dengannya, air matanya juga mulai menampakkan diri dari mata mungilnya.

“janji ya!” kedua kelingking kecil itu saling mengikat janji, tanpa tahu masa depan apa yang akan menanti keduanya.

Kedua mataku terbuka dengan perlahan. Aku menyentuh pipiku yang terasa basah dan lembab. Lihat. Aku menangis lagi.

Aku berdecak kecil dan bangkit dalam posisi duduk. Sudah tiga hari aku memimpikan hal yang sama. Taman bermain. Bangku kayu didepan sungai kecil. Dan dua anak kecil yang tak henti-hentinya bercengkrama dengan tawa mereka. Kadang ada anak laki-laki lain yang masuk kedalam mimpiku.

Salah satunya terlihat jelas wajahnya, namun bocah laki-laki yang lain sama sekali tidak bisa kulihat wajahnya.

Tapi nampaknya ia lebih kecil dariku. Dilihat dari aku yang memanggil diriku sendiri dengan sebutan kakak, dan betapa kurus dan mungilnya bocah laki-laki itu.

Bunyi pintu kamarku yang terketuk membuatku terdiam sesaat. Ketukan itu terdengar sekali lagi, “masuk!” ujarku.

“makanan sudah siap, nyonya.” aku mengangguk. “saya akan turun sebentar lagi,” balasku.

Mungkin semua orang akan iri denganku. Karena walaupun sudah menikah, aku tidak perlu memasakkan sarapan untuk Arka. Tidak perlu menyiapkan air hangat untuk mandinya pria itu, tidak perlu juga membersihkan rumah. Aku tidak perlu melakukan apapun yang seharusnya dilakukan oleh seorang wanita setelah menikah.

Namun sejujurnya aku tidak suka akan hal ini. Punya terlalu banyak pembantu di rumah ini. Walaupun harus kuakui, aku tidak akan sanggup membersihkan rumah sebesar ini. Dan aku juga tidak bisa masak. Tapi setidaknya aku bisa kalau mau berusaha. Mama juga berulang kali menyuruhku kerumah, karena beliau takut bahwa Arka akan kelaparan karena keahlian masakku yang kurang.

Dan yang paling penting, Aku tidak suka dengan tatapan memuja beberapa pembantu muda disini, terhadap Arka.

Selesai dari kamar mandi, aku keluar dari kamar dan mendapati Arka yang sedang duduk di atas meja makan dengan iPad-nya.

Ia sama sekali tidak menoleh ke arahku, yang baru saja turun dari tangga, dan mulai berjalan mendekati tempatnya. Pernikahanku dan Arka sudah berjalan selama satu minggu, namun sampai saat ini tidak ada yang berubah dengan hubungan kami. Malah makin memburuk.

Ia bahkan tidak berbicara denganku sejak kedatangan Daniel seminggu yang lalu. Arka sudah tidak bekerja selama seminggu. Mama Tessa bilang, Arka akan kembali menjalankan schedulenya setelah bulan madu kami selesai. Pergi aja belum. Dan sepertinya kami tidak akan pernah bulan madu.

“Arka,” panggilku, saat beberapa pelayan mulai mengisi meja makan dengan beberapa jenis makanan enak yang terlihat seperti jamuan raja dan ratu. Terlalu banyak. Membuatku gatal ingin menelepon Sisil dan mempersilahkannya menghabiskan makanan dirumahku.

Mama belum pernah kesini setelah aku menikah dengan Arka, katanya sih beliau sudah pernah datang saat aku masih dirawat dirumah sakit. Kata Mama, hubunganku dan Arka masih pengantin baru, jadi mereka tidak mau mengganggu kami. Tapi pengantin baru apa! Lihat! Kupanggil saja, ia tidak menyahutiku.

A Whole New World. ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang