9. Kelinci Kecil

2K 69 2
                                    


Edward di sebelahnya tertawa terpingkal. Setelah itu serius bertanya, "Apa di sini ada gay?"

Ada beberapa mata yang berbinar.

"Habislah, kau ...." Andrelin berujar pelan.

"Hei! Siapa yang kau awasi, Pak?" Wajah Andre dibuatnya seolah penasaran. Jelas ia tahu polisi ini berusaha mencari jalan keluar.

"Tidak ada!" dengkus si polisi meredam emosi.

"Yang mana? Ini? Itu?" Sedang, Edward sibuk bertanya dan memilah yang cocok untuk menghabisi polisi muda. Ia menunjuk sana-sini seakan bingung memilih.

"Sukses dengan petualanganmu?" Andrelin berkacak pinggang, menggeleng-geleng di balik tudung dan masker. Menilai tampilan pria ini.

Tatanan rambut undercut-nya berubah acak-acakan. Mata coklat terang itu menatap benci ke arahnya. Orang ini bahkan masih terlihat gagah meski sudah lusuh dan penuh luka. Sebagai gadis yang masih normal, jelas berbohong jika ia mengatakan tidak mengagumi sosok ini. Namun, gengsi manusia terlalu besar. Apalagi untuk seorang Andrelin.

"Tidak." balasnya pelan.

Andrelin tergelak. "Tentu tidak," sindirnya.

Dia menoleh ke arah rekan yang berkacak pinggang.

"Ed, bagaimana?" tanya Andrelin setengah berteriak.

Edward menoleh. Mengacungkan jempol tanda siap.

"Kuserahkan padamu, Ed." Setelah itu Andrelin berjalan pergi dari ruangan.

"Jadi dipanggang?" teriak Andre menatap dengan sorot aneh ke polisi. Setidaknya itu yang ditangkap Andrelin.

"Bermain dulu sepuasnya." Andrelin mengibaskan tangan sebentar.

Terdengar decakan senang dari mulut Edward.

"Oke. Kau mau ikut menonton, Ndre?" tawar Edward semangat.

Andre tak menyahut, malah memilih pergi.

"Yah! Tidak seru," helanya kecewa. Akhirnya Edward pun ingin ikut pergi.

"Urus oleh kalian!" perintahnya pada dua pria yang menatap lapar ke arah mangsa. "Jangan sampai mati!" lanjut Edward sebelum berlalu.

Salah satu pria seragam hitam seolah memuja si mangsa. Sedang pria berambut cepak di sebelahnya langsung ingin melepas penghalang yang masih tersisa di tubuh korban.

"Ikatannya?" tanya Si Tahi Lalat--teman pria berambut cepak.

"Buka dulu."

"Oke."

"Orin. Namanya Orin, jika kudengar dari Bos tadi." Si Cepak langsung menoleh, menatap temannya. "Nama yang bagus," pujinya.

Orin menatap penuh amarah pada kedua makhluk tak normal di dekatnya. Otaknya bekerja lamban untuk mencari jalan kabur.

Terbuka. Semua benda yang mengikatnya terbuka. Tapi, orang bertahi lalat di dagu setia memegangi.

Bagaimana ini?  batinnya bertanya.

Pintu berjarak sekitar tiga meter dari tempatnya. Bagaimanapun ia harus berhasil.

Si Rambut Cepak mulai membuka pakaian. Sedang pemilik tahi lalat masih menahannya.

"Hei! Kenapa dia?" tunjuk dagu Orin ke teman orang ini.

"Aku bukan orang tolol," balasnya santai.

Dalam hati Orin mengumpat. "Aku mau bukti!"

"Diam, Sayang!"

Orin lebih memilih mati rasanya. Dengan kekuatan yang tersisa, ia menendang ke belakang, tepat mengenai tulang kering Si Tahi Lalat.

Andrelin A Mafia GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang