10. Terungkap

1.7K 37 0
                                    


"Orin! Dari mana tiga hari ini?" Seorang berseragam coklat bertanya penasaran saat melihat temannya baru muncul.

"Menikah," sinis si teman terlihat sekali sangat tidak senang.

"Hahha ... kenapa kesal?"

"Aku demam." Orin mengangkat bahu acuh, seolah apa yang dikatakan memang benar adanya.

"Kenapa tidak bisa dihubungi?"

Orin berdecak. "Ck, banyak tanya." Ia berkata sebal, "Ponselku di ruang tengah, terlalu malas untuk keluar kamar."

"Dasar!" Iraka mengamati sejenak muka Orin. Keningnya mengernyit. "Tapi, wajahmu ... lebam?

Si lawan bicara menyentuh wajah, bola mata coklatnya bergerak gelisah. Ia bertanya, "Ingat adikku?" Raka mengangguk ragu. Ini mungkin memang bisa dijadikan alasan. "Dia baru belajar bela diri dengan temannya."

"Oh. Wah, hebat!"

"Apanya?"

"Dia berhasil memukuli polisi terbaik sepertimu, hhaaha ...." Bangga. Bukan ini harusnya andai ia tahu yang sebenarnya. Tapi, sudahlah.

"Mana mungkin aku melawan."

"Adikk kesayangan." Orin memerhatikan telapak Raka yang menepuk-nepuk pundaknya.

"Sebenarnya sedikit tidak rela, mengingat adikku sangat manis."

"Mau bagaimana lagi? Itu kemauan adikmu."

"Ya."

"Hei! Aku hampir lupa?" Raka melotot mengingat sesuatu.

"Apa?"

"Tentang mafia yang sedang transaksi itu. Bagaimana?"

Iraka menangkap perubahan raut dan gelagat aneh dari sang teman. Bibir Orin terbuka hendak bicara, tapi kembali terkatup. Seperti menyembunyikan sesuatu.

"Mereka berhasil lolos. Sempat ada yang kutangkap. Namun, mereka berhasil mengecoh untuk kabur." Raka diam. Orin lanjut bicara. "Maaf, tidak mengabari tentang ini. Kepalaku pening, aku memutuskan langsung pulang hari itu."

Raka mengangguk-angguk. Antara percaya dan tidak percaya. Entahlah, membingungkan.

"Ya sudah, aku keluar sebentar." Hanya anggukan sebagai respon Orin.

Orin bergerak gelisah. Dia mengacak rambut frustrasi. Bingung harus bagaimana? Berbuat apa? Haruskah mengakui dan mengatakan kalau dia sempat tertangkap oleh mafia itu.

Bukan hanya tentang harga diri. Di sini dia bingung akan hal lain. Tentang pemimpin organisasi terlarang. Kenapa harus orang itu ....

Arrrggghh. Memangnya dia harus apa.

___

"Jadi berguna lumayan menyenangkan. Dirimu bisa kau anggap berharga, meski terkadang lebih banyak dimanfaatkan."

Kata-kata yang berhasil membuat Andrelin menoleh sepenuhnya pada teman semeja.

Darren memainkan pulpen di meja. Dia acuh pada penghuni kelas yang mulai keluar bersamaan dengan sang guru meninggalkan kelas.

Netra itu sibuk menatap objek di balik jendela. Perempuan dengan segala tingkah memakai hati, dan lelaki dengan segala akal dalam tindakan. Si lelaki membuang perempuan yang terlihat tulus membantu dan selalu menemani. Kini dibiarkan berlutut di hadapan lelaki tak berhati. Andrelin tetap bungkam. Netra sebiru lautan mengikuti arah pandang teman semeja.

"Akibat berpikir pakai hati." Sorotnya tak lepas dari jendela. Darren kembali berujar, "Hidup seperti ... orang normal. Drama, bukan?"

Ada senyum kecil terukir di wajah Andrelin. "Aku tahu kau bukan orang normal, Darren."

Balas tersenyum, Darren menjawab, "Memang bukan. Tapi, kurasa aku mulai mengagumimu."

"Ohh."

"An."

Andrelin mengernyit tidak suka. Panggilan untuk dia, kah?

"An, Erlyn tidak lebih dari mayat sekarang." Darren tampak menerawang waktu. "Bisakah aku memiliki sahabat terbaiknya?"

"Ha-ha-ha. Aku hancur bersama dunia gelap hanya untuk mencari orang berengsek yang mencabut nyawa sahabatku." Wajah Andrelin mengeras saat berujar. Ia tertawa hambar.

Darren mengikis jarak. Mereka saling menumbuk netra, mencari arti dari masing-masing kata terucap. "Kau hancur atas dasar keinginanmu sendiri."

Ini tidak benar. Andrelin memalingkan muka, kenapa pipinya terasa panas? Kenapa juga dengan jantung yang berpacu cepat hanya dengan beradu tatap.

Sialan.

Andrelin bukan orang polos hingga perlu pakarnya untuk tahu dalam keadaan apa ia sekarang.

Dia menggeleng, berusaha menepis rasa yang hinggap. Ingat Andrelin, dia pembunuh Erlyn. Orang yang dicari selama ini. Alasan kenapa organisasi terlarang dibangun. Untuk ... si pembunuh sang sahabat.

Masih dengan raut datar Andrelin. "Sudah terungkap siapa pembunuhnya. "Tapi, aku masih merasa janggal, sambungnya dalam hati.

Gelisah. Sepertinya masih ada yang belum ia diketahui.

"Lalu?"

Andrelin memejamkan mata. "Pusing."


____

TBC ....




30 Desember 2019

Andrelin A Mafia GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang