Dua

210 28 57
                                    

Bel pulang sudah sepuluh menit lalu bernyanyi syahdu. Menghantarkan kelegaan bagi penghuni Darma yang kelelahan berpikir seharian. Entah memecahkan permasalahan logika matematika, atau menjabarkan rumus fisika.

Arzetta menggendong tasnya meninggalkan kelas yang sepi. Diiringi Maura dan Gea di sisi kanan-kiri serta Arjuna mengekor di belakang bagai ajudan. Zetta mendesah jengah.

Sahabat-sahabatnya ini keterlaluan sekali perhatiannya. Sampai memperlakukan Zetta seperti pasien kecelakaan parah yang akan masuk ruang operasi. Menyebalkan, padahal Zetta baik-baik saja.

"Lo beneran udah nggak apa-apa, Ze?" tanya Maura. Ada kecemasan dalam suara gadis manis itu.

"Iya, Mau, benjol doang kok ini sama memar. Gue juga nggak sampai pingsankan?" Zetta menyibak rambutnya yang sengaja ia gerai, lalu menatanya ke depan hingga menutupi sisi dahi yang benjol kebiruan, sehabis dicium bola.

"Kok gue jadi kepo, ya sama reaksi mama papa lo nanti, Ze?" Gea nyengir kuda seraya memainkan alisnya. Membuat Zetta mendengkus lantas memasang wajah paling nelangsa. Kepalanya sudah bisa menerka-nerka bagaimana rekasi orang tuanya nanti.

"Eh gimana IMF? Jadi pada mau ikut?"

Pertanyaan Maura barusan membuat Zetta makin merana dan tak berselera mendengar kelanjutannya. Dia mendesah payah. Hilang selera.

"Jadilah! Kita berdua aja, Mau kalau Zetta nggak dibolehin ikut," seru Gea dengan sangat menyebalkan. Zetta harus sampai mendelik kesal. Menahan keinginan menjahit bibir sahabatnya yang satu itu.

Namun Zetta tidak bisa menampik. Kemungkinan hadir yang dia punya hanya nol koma satu persen alias tidak mungkin. Melobi orang tuanya tidak akan pernah mudah. Harus banyak-banyak elus dada.

"Lo mau ikutan nggak, Jun?"

Juna yang eksistensinya terabai sedari tadi hanya menggeleng, "kalian aja," jawabnya yang langsung dicibir Gea. Zetta dan Juna kurang lebih sama. Sama-sama susah diajak main. Jika Zetta tertambat perizinan orang tua, maka Juna tersangkut pekerjaannya selepas sekolah.

"Emang lo udah nanya belum ke ortu lo, Ze?"

Zette menggeleng muram, "belum ketemu timing yang pas."

"Kalau lo mau, ya, harus yakinin bonyok lo dong, Ze. Secara lo udah gede tau. Sekali-kali nggak masalahlah. Toh lo di sana juga nggak yang aneh-aneh kok."

"Iya, nanti gue coba ngomong. Semoga aja dibolehin."

Beberapa meter sebelum pos satpam, Zetta berpisah dengan ketiga sahabatnya yang berbelok ke arah parkiran di sisi selatan, sedang ia masih harus lurus menuju gerbang sekolah.

Begitu dilihatnya jazz merah terparkir bersama beberapa kendaraan lain tak jauh dari gerbang, Zetta menunduk sekilas dan sekali lagi menata surai legam sepunggungnya. Diatur sedemikian rupa sehingga benjol di kepalanya tersamarkan.

Saat hendak menghampiri mobil ibunya, Maura dan Gea melewati Zetta dengan kendaraan mereka. Kedua gadis itu kompak memberi Zetta semangat yang menggelikan. Memangnya dia sedang berlomba merebutkan hidup dan mati apa? Zetta menggeleng kecil lantas memacu langkah ke tempat mobil ibunya terparkir.

"Ke mana dulu kok lama?" tanya ibu Zetta sedetik setelah bokongnya melesak di jok penumpang depan.

"Nungguin Maura piket dulu tadi," jawab Zetta seraya memasang seat belt.

Sarah menatap putrinya beberapa saat, membuat yang ditatap bergerak salah tingkah. Alih-alih berkomentar, wanita kepala empat itu justru menginjak pedal gas dan membawa mobil melewati jalanan ibu kota yang tidak pernah lengang. Bergabung bersama lusinan kendaraan lain.

Arzetta #ODOC [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang