Tiga Belas

61 12 2
                                    

Asap tipis mengepul dari mangkuk ayam Ares dan Zetta. Menguarkan aroma rempah yang menggelitik penciuman, membangkitkan selera makan. Zetta menyendok kuah bakso yang sudah ia tambahkan cabai, menyeruput perlahan. Kerongkongannya jadi terasa lebih hangat. Gadis itu mengangguk kecil, lalu kembali menyendok. Suapan-suapan berikutnya bukan hanya menghangatkan kerongkongan, tetapi sekujur badan.

Saking nikmatnya bakso itu, sang gadis sampai tidak menyadari bahwa ada sepasang mata yang memperhatikannya sejak tadi.

"Enak banget kayaknya," gumam Ares sebelum menyuap bakso miliknya.

Tidak ada sahutan dari lawan bicara. Entah karena gemuruh hujan di luar sana yang memekakkan, atau lantaran terlampau khusuk menyantap baksonya sehingga Zetta tidak begitu mendengar perkataan Ares. Yang jelas, cowok itu merasa geli sendiri. Ia meraih gelas teh dan meneguk isinya sebanyak tiga tegukan.

Untuk menit-menit ke depan, Ares tak lagi mencoba menginterupsi Zetta. Gadis itu lahap sekali. Mulutnya sesekali berdecak menahan pedas yang membakar lidah. Tapi bukannya meneguk air meredakan sengatan pedas, gadis beriris cokelat madu itu justru kembali berniat menambahkan saus cabai.

Ares berdecak lantas menahan tangan Zetta yang sudah mencengkeram sendok cabai, membuat gadis itu mengernyit bingung, tetapi tak pelak ada semburat merah menghiasi pipinya.

"Kenapa?" tanya Zetta polos. Ia mengulang pertanyaan yang sama sebanyak dua kali lantaran suaranya kalah saing dengan gemuruh hujan dan petir yang saling bersahutan.

"Lo udah kepedasan begitu tapi masih mau nambah cabenya, gimana sih," tukas Ares gemas. Tangan Zetta yang kaku perlahan melepas pegangannya.

Sementara Zetta kembali menunduk menyantap baksonya yang tersisa setengah, Ares mengulurkan tangan meraih gelas di tengah meja. Mengisinya dengan air dari teko lantas mengangsurkan pada Zetta.

"Minum dulu baru makan lagi."

Zetta menatap Ares beberapa detik, sebelum dengan rikuh meneguk air pemberian cowok itu. Bakso memang menghangatkan badannya, tetapi perlakuan Ares membuat hatinya jauh lebih hangat. Ekor mata Zetta melirik Ares yang santai menyantap makananannya dari bibir gelas. Senyum Zetta tersungging kecil.

"Hujannya lebat banget dan mungkin bakal lama reda. Kita nggak bisa lanjut jalan."

"Gini aja nggak masalah. Hujan-hujanan dan semangkuk bakso itu perpaduan yang nikmat. Gue seneng, makasih."

Satu alis mata Ares terangkat. Dipandanginya puncak kepala Zetta lekat. Gadis ini, unik. Entahlah unik dari mana, Ares juga tidak begitu mengerti jalan pikirannya. Yang pasti, dia berbeda dari mantan-mantan pacarnya yang akan memekik girang bila dibawa nonton di bioskop, belanja di mall atau makan di kafe-kafe hits ibu kota. Sedangkan Arzetta, dia tidak. Yang membuatnya girang justru hujan dan semangkuk bakso.

Apa katanya tadi? Perpaduan yang nikmat? Bah! Ares nyaris terkekeh mendengarnya.

"Jadi pacar lo nggak butuh modal banyak berarti. Cukup hujan-hujanan terus makan bakso di kedai aja udah buat lo senang. Boleh juga."

Zetta menunduk malu. Tetapi kalimat Ares berikutnya justru membuat jantung gadis itu berdetak tidak karuan!

"Kalau gitu, lo mau jadi pacar gue?"

Uhuk ... uhuk ....

Zetta tersedak kuah bakso! Tenggorokannya terasa luar biasa panas. Matanya sampai memerah dan berair dengan batuk yang tak kunjung berhenti.

Mata bundar Zetta menatap horor Ares yang dengan santai mengisi kembali gelasnya. Bangkit dari kursi lantas membantu meminumkan air pada Zetta sambil menepuk pelan punggung kecil gadis itu.

Arzetta #ODOC [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang