Delapan

92 15 1
                                        

Jalan di luar sana tampak sibuk meski tak ada kemacetan yang menjengkelkan. Para pengguna jalan kelihatan menikmati sekali perjalanan mereka.

Ah, iya, ini malam Minggu. Pantas saja banyak ia temukan pasangan bergoncengan mesra. Beberapa turun dari kendaraan. Berjalan sambil bergandeng tangan menuju warung tenda yang digelar di tepi jalan. Zetta menontoni aktivitas malam ini lewat kaca jendela besar di sebelahnya. Pikirannya melayang jauh.

"Tadi gue lihat lo hampir nangis, kenapa?"

"Ah, bukan apa-apa." Zetta memalingkan wajah pada Ares yang duduk di seberang meja dengan secangkir espresso dalam genggaman. Bibir gadis itu tersenyum simpul, tetapi matanya tidak.

Ares mendengkus seraya menaruh cangkirnya ke atas meja, ia lantas menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Lengannya terlipat, mata elangnya menghanyutkan Zetta hingga tersesat jauh ke kedalaman manik jelaga tersebut. "Ini yang gue nggak suka dari perempuan, selalu bilang nggak apa-apa padahal ada apa-apa."

Tak ada sahutan dari Zetta.

Gadis itu menunduk memainkan pinggiran gelas green tea lattenya dengan jari telunjuk. Menatap riak yang tenang sambil menahan gugup.

Sekuat tenaga Zetta menekan keinginan liar ekor matanya melirik Ares. Bukan apa-apa, semua dia lakukan demi menjaga kestabilan hati dan pikirannya sendiri. Lantaran baru kemarin ia bertekad untuk mengikis habis perasaan abu-abu yang disimpannya terhadap Ares.

Dia tak ingin membangun harapan-harapan semu lain lagi, jatuhnya sakit sekali.

Belum lagi posisi mereka kali ini, sangat mengancam kelancaraan misi besar seorang Arzetta; duduk berdua di kafe, dengan aroma kopi dan musik romantis mengalun merdu, apalagi kiranya yang bisa Zetta rasakan selain kemunculan harapan-harapan tak berkesudahan dalam hati?

"Em, kita balik aja yuk, Res," ujar Zetta pada menit ketiga. Ia lelah bergelut dengan setan dan malaikat dalam hatinya yang saling mempengaruhi.

Kubu setan menghasutnya tetap tinggal, sedang kubu malaikat merayunya agar segera pergi. Akan ada hati lain yang tersakiti bila melihat mereka dalam posisi ini.

"Gue ... nggak enak sama pacar lo. Nanti kesannya gue kayak ngerebut lo lagi. Gue nggak mau tahun terakhir SMA gue jadi dilabeli dua gelar. Cukup satu aja yang bikin gue muak, gue nggak mau ada tambahan lagi, Zetta si perebut pacar orang." Zetta mendengkus di akhir kalimat. Semua kalimatnya termuntahkan begitu saja.

"Lo bawel juga ya ternyata?"

"Huh?" Mata bulat Zetta mengerjap dua kali dengan tangan menggaruk pelipis rikuh. "Ma-maaf, gu-gue, nggak bermaksud nyinggung perasaan lo kok. Cuma gue emang nggak nyaman aja."

Ares berdecak. "Gak ada yang bakal marah. Pacar gue udah nggak ada. Kenaikan kelas waktu itu gue putusin."

"Tapi semalam gue lihat lo makan burger sama cewek baru," kata Zetta dengan suara nyaris tak terdengar. Namun, Ares menangkap jelas kalimat tersebut. Membuatnya terkekeh kosong seraya menyugar rambut ikalnya ke belakang.

"Lo tau nggak, lo udah mirip orang cemburu nanya begitu."

Kontan saja Zetta menggeleng cepat. Pipinya memanas menahan malu. Bibirnya terkulum gugup. "Gue nggak bermaksud, sumpah. Astaga! Lupain aja. Anggap lo nggak denger apa-apa, oke?"

"Cemburu juga nggak masalah. Tandanya lo suka sama gue."

"A-apaan sih! Ngaco." Dengan salah tingkah Zetta meraih gelas tinggi di atas meja, meneguk gugup green tea lattenya hingga menyisakan setengah gelas. Dia berusaha melarikan tatapan dari Ares yang menatapnya terus-terusan. Mendadak tubuh Zetta jadi panas dingin. Dia merasa sangat konyol.

Arzetta #ODOC [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang