Sepuluh

83 20 11
                                        

Arzetta terdiam. Menatap gugup lusinan pasang mata yang menyorotnya tak terbaca. Gadis berkucir kuda itu memejam sesaat. Menarik dan mengembuskan napas perlahan, ia terus mengulang siklus tersebut hingga jalan napasnya membaik. Degup jantungnya perlahan bersahabat.

Tangan Zetta yang dingin dan sedikit berkeringat menggenggam erat dawai di atas pangkuan. Dia membutuhkan sedikit waktu lagi untuk meredam kegugupan dengan merapal sebaris kalimat penenangan, aku bisa.

Perlahan, jemari Zetta turun menyentuh senar gitar. Memetiknya penuh perasaan. Suara-suara yang semula mengudara bagai dengungan lebah, mendadak hilang dan menyisakan keheningan. Membiarkan detak jarum jam mengisi kesunyian kala Zetta memberi jeda menuju petikan kedua, untuk membuat dirinya lebih nyaman dan hanyut dalam melodi yang akan ia bawa.

Di bumi yang tua ini

Kenyataan menjadi mimpi

Suara Zetta mengalun rendah, seiras dengan petikan gitar yang menghipnotis. Ia menyihir semua kepala, membuat yang mendengar suaranya merinding bukan main lantas hanyut bersamanya.

Mereka seperti melihat sosok lain dalam diri Zetta. Yang lebih bersinar, lebih hidup dan lepas dari dia yang biasa. Mata gadis itu berpendar penuh kesungguhan. Seolah bermusik memanglah jiwanya.

Di bumi yang renta ini

Bisu pun bertambah tuli

Tak, ada yang bicara

Apalagi mendengarkan

Perduli pada sendiri

Makhluk sosial tanpa sosial

Zetta tak memikirkan apa pun lagi saat ini. Yang terpeta dalam kepalanya hanya Elegi yang ia bawa. Semua kegugupannya sirna sekedipan mata. Dia seakan tenggelam dalam dimensi dan dunianya sendiri. Bersama gitar dan nyanyian kehidupan. Ia memejam, meresapi permainannya. Jemarinya terus bergerak, memetik senar selayaknya gitaris handal.

Oooohh

Dan ragamu tergeletak di antara lantai retak

Oooohh

Terlewati terinjak dan kau hilang tak berjejak

Untuk satu menit lewat sedikit, tidak ada yang bisa menjauhkan fokus dari Zetta. Ada yang memejam menghayati lagu, ada pula yang bertopang dagu mendengarkan.

Gemuruh tepuk tangan dan siulan menggema dalam ruang kedap suara itu sesaat setelah Zetta mengakhiri permaianannya. Gadis itu terdiam di kursinya dengan perasaan membuncah. Darahnya berdesir bersama euforia. Dia tersenyum melihat semua orang menyukai apa yang ia tampilkan barusan.

Perlahan Zetta bangkit dari kursi, berjalan rikuh ke tengah ruangan di mana semua teman-temannya duduk selonjoran.

"Gila, yang barusan itu elo, Ze? Kok beda banget sih sama lo yang biasa," komentar seorang teman yang hanya Zetta tanggapi dengan senyum tipis.

"Keren, Ze," bisik Maura. Gadis itu dan Gea mengacungkan dua jempol, membuat Zetta terkekeh kecil.

"Perhatian semuanya."

Semua pasang mata sontak menoleh pada wanita paruh baya berkerudung cokelat yang sudah berdiri di hadapan mereka. Wanita itu tersenyum keibuan. Menatap satu-satu muridnya. "Kita barusan sudah melihat dan mendengar bagaimana Zetta memainkan alat musik dengan sangat baik. Tempo, nada dan suaranya pas, tidak lari-lari. Begitu yang Ibu inginkan dari kalian semua ke depannya."

"Kamu sebelumnya kursus musik, Zetta?" tanya guru musik itu kemudian.

Zetta malu-malu menjawab, "Sebenarnya saya belajar otodidak aja, Bu."

Arzetta #ODOC [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang