Empat

126 22 22
                                    

Arzetta duduk dengan gusar di kursi penumpang depan. Berkali-kali fokusnya terbagi; antara ponsel di pangkuannya yang dibombardir teror Maura dan Gea, juga pada arus jalan di sekelilingnya yang menyemut. Kendaraan memadati ruas jalan. Klakson kendaraan sahut menyahut di luaran.

Zetta melirik ayahnya yang mengemudi dengan tenang. Telunjuk pria itu mengetuk-ketuk stir mobil, mengikuti alunan musik jazz yang terputar di radio mobil mereka. Kontras sekali dengan Zetta yang rasanya ingin meledak. Perasaannya campur-campur saat ini, antara kesal, cemas, gugup dan takut. Semua membuncah membuat Zetta berharap segera terbebas dari situasi ini.

"Pah, masih lama ya?" tanya Zetta retoris. Dia tahu dengan pasti, seberapa lama lagi kesabarannya yang sebesar biji semangka ini diuji habis-habisan sedari tadi, ah, bukan. Tepatnya sedari kemarin.

"Nggak mau putar balik aja?" tanya Akbar balik yang membuat Zetta mencebik. "Macetnya parah banget."

Zetta tidak lagi berkomentar. Dia masih ingin menyimpan sisa-sisa energi untuk nanti. Jadi gadis bersurai legam yang digerai indah dengan bandana krem itu memilih memainkan ponselnya. Berseluncur di akun sosial media.

Setengah jam kemudian, SUV putih mengkilap yang dikemudikan Akbar mendesing pelan. Perlahan berhenti di area parkiran luas yang dipenuhi kendaraan. Zetta dengan degupan kencang pada jantungnya langsung melompat turun dari mobil. Ia hendak menyongsong kedua sahabatnya yang tiba lebih dulu sebelum suara berat ayahnya mengintrupsi. Membuat Zetta memutar tumit dan membungkuk di dekat jendela.

"Jangan matikan ponsel kamu biar Papa sama mama gampang hubungin. Dan ingat, hanya sampai jam sepuluh." Akbar memperingati tanpa bisa dibantah. Mata berbingkai kacamata itu menuntut Zetta. "Jangan aneh-aneh. Jaga diri baik-baik. Banyak orang tidak benar di sana."

Wejangan dari ayahnya tidak begitu Zetta simak. Ekor mata gadis itu sedari tadi bergerak liar meneliti setiap sudut. Berharap segera menemukan dua sahabatnya.

"Mengerti, Ze?"

"Ah?" Zetta tergagap. Ia menggaruk pelipis kirinya, "Iya ngerti. Papa nggak usah khawatir."

"Udah sana, Papa tungguin kamu sampai masuk."

Zetta mengangguk singkat lantas melesat melewati parkiran menuju gerbang IMF yang disesaki umat manusia. Mereka semua terlihat stunning dan bergaya. Zetta menunduk memerhatikan penampilannya sendiri. Oversized turtleneck berwarna merah, midi skirt kotak-kotak hitam sebetis dan sepatu sneakers putih. Dilihat dari sisi mana pun, Zetta tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka semua.

"Zetta!"

Merasa namanya dipanggil, kepala Zetta refleks berputar mencari sumber suara. Begitu ditemukannya Maura dan Gea melambai-lambai tak jauh dari gate, gadis itu buru-buru mendekat.

"Maaf gue telat," ujar Zetta dengan napas putus-putus. Harusnya dia sudah di sana sejak pukul tiga, tetapi Zetta terlambat satu jam lantaran satu dua hal yang sangat menjengkelkan. Beruntung pintu masuk belum dibuka.

"Bukannya lo bilang mau pulang semalam, ya? Kenapa nggak jadi?" tanya Maura sambil menyerahkan wristband milik Zetta yang sudah ia tukar tadi dengan e-ticket.

"Tau deh, Papa gue tiba-tiba bilang sakit pinggang. Nggak kuat nyetir katanya."

Jujur saja, Zetta benar-benar suntuk dua hari ini. Orang tuanya yang over protective seolah sengaja menunda-nunda kepulangan mereka dari Bandung setelah menghabiskan sepekan masa liburan. Ada saja alasannya kemarin saat Zetta memaksa segera kembali ke ibu kota. Alasan ayahnya sakit pinggang. Padahal beliau nyaris tidak melakukan apa pun sehari sebelumnya. Hanya bersantai menikmati udara sejuk tanah kelahiran.

Arzetta #ODOC [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang