"Ganti, Ze. Itu pundak kamu kelihatan. Bajunya juga ngepas. Lekuk badan kamu jadi kelihatan."
"Tapi ini baju dari Muara, Pa, dia sendiri yang nyiapin khusus buat aku dan Gea pakai di acara dia. Aku nggak enak kalau nggak dipakai."
"Ganti atau tidak usah pergi. Biar Papa yang hubungin Maura nanti."
Zetta mematut dirinya di depan cermin. Di sana, terpampang replika seorang Arzetta Qirani Akbar sedang berwajah masam dengan bibir ranum ditekuk sebal. Percakapannya dengan sang ayah lima belas menit lalu masih merongrong isi kepala Zetta yang rasanya ingin menyemburkan lahar panas.
Bagaimana tidak? Dia sudah rapi dengan floral dress berwarna dasar biru laut pemberian Maura—oleh-oleh dari Jepang, ia pun hanya tinggal berangkat saja ke pesta ulang tahun Maura. Namun, ayahnya yang sangat protective dan tak bisa dibantah itu memaksa Zetta mengganti konstum dengan yang lebih pantas sesuai standar Yang Mulia Raja.
Dress pemberian Maura itu sudah sangat sopan. Memang bagian bahunya sedikit terbuka, selebihnya sudah sempurna. Panjangnya pas sebatas dengkul, dan lengannya menutup hingga siku.
Maka dengan menahan gondok Zetta menyalin pakaian dengan dress lain. Midi dress sebetis berpotongan sederhana berwarna pastel dengan aksen pita kecil di kedua lengan panjangnya. Dia harap tidak perlu berganti pakaian lagi setelah ini karena dia sudah sangat terlambat ke pesta Maura.
Meraih sling bag dari atas ranjang, Zetta lantas berjalan cepat meninggalkan kamar. Melangkahi dua anak tangga sekaligus. Ia menghampiri ayahnya yang duduk bersantai dengan sang ibu di ruang tengah.
Keduanya meski tidak lagi muda, tetapi gelora cinta yang mereka punya seakan tidak pernah kadaluwarsa. Zetta selalu merasa iri tiap mereka bermesraan, dan bagian paling menggelikan adalah, Zetta berkhayal jalan cintanya akan seperti milik mereka. Bertemu, menikah, dan menua bersama. Mohon digaris bawahi, hanya jalan cinta. Bukan polah mereka mengekang anaknya.
•••
Jarak rumah Zetta dan Maura tidak begitu jauh. Hanya menghabiskan lima belas menit berkendara di jalan yang lancar. Selama perjalanan, Zetta mengunci mulut. Hanya menontoni aktivitas malam dari kaca jendela sampingnya.
Setibanya di depan pagar besar kediaman Maura, Zetta langsung memasuki area pesta yang sudah sangat ramai. Semua orang berkumpul di halaman belakang. Ia mendesah. Benar tebakannya, dia sudah terlambat. Maura kini tengah menyuapi potongan kue ulang tahun pada kedua orang tuanya. Gemuruh tepuk tangan dan musik pengiring dari arah panggung kecil di sudut halaman melatari suasana.
Satu helaan napas keluar dari celah bibir Zetta, bergabung dengan udara hampa. Ia berjalan kecil ke tengah, ingin melihat Maura lebih dekat sekalipun hatinya tidak enak lantaran terlambat dan tidak mengenakan pakaian pemberian sahabatnya tersebut.
"Kali ini telat karena apa, Ze?"
Suara dari arah samping membuat Zetta menoleh. Didapatinya Gea yang biasa bergaya tomboy, khusus malam ini terlihat lebih feminim dan manis. Rambut ikal sebahunya dibiarkan tergerai. Poninya dijepit dengan jepitan mutiara.
"Disuruh ganti kostum waktu mau berangkat," tukas Zetta malas yang sontak memancing tawa Gea. Beberapa pasang mata sampai melirik ke arah mereka. Maura di atas panggung pun, menghadiahi mereka tatapan bertanya.
Zetta mengedikkan bahu, berusaha tidak peduli.
Pesta perayaan delapan belas tahun usia Maura dihadiri banyak tamu. Rata-rata teman sekolah dan kenalannya. Membuat halaman lima belas meter persegi itu terlihat penuh.
Acara inti sudah berahkir. Para tamu mulai berpencar, ada yang mendatangi Maura sekadar mengucapkan selamat, ada pula yang langsung melipir ke meja panjang di sudut halaman, atau duduk-duduk mengobrol ngalor-ngidul dengan ditemani musik dari band lokal yang sengaja diundang serta menyemili kudapan lezat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arzetta #ODOC [COMPLETED]
Teen FictionArzetta Qirani Akbar hanya menginginkan sebuah kebebasan. Namun, begitu kebebasan dalam genggamannya, Zetta tidak merasa lega. Ia justru merasa hampa dan kosong. Ia kehilangan banyak hal. Copyright © 2019 by Welaharmy_21 --- [Sedang Dalam Proses Rev...