Arzetta terlihat berbeda hari ini. Ia turun dari kamar lebih siang dari biasa, tanpa senyum selamat pagi yang biasa Zetta umbar cuma-cuma. Tak ada pula aktivitas membantu menyiapkan meja makan sembari bercakap-cakap dengan sang ibu. Bahkan kedua orang tuanya sudah mengisi kursi masing-masing ketika Zetta bergabung. Menyantap semangkuk oatmeal dengan diiringi percakapan kecil.
Gadis itu hanya mengangguk, menggeleng dan mengangkat bahu ketika dibawa masuk dalam arus obrolan. Memang dasarnya sedang tidak berselera. Zetta masih marah. Tidak terima. Argumentasi mereka kemarin malam masih membuat hati Zetta panas.
Lebih baik dia diam. Simpan energi dan mengumpulkan kembali puing-puing pengendalian diri.
Setibanya di sekolah pun Zetta lebih banyak mengunci mulut. Dia membiarkan Maura dan Gea merumpi di belakang, sedang ia menyumpal telinga dengan earphone dan membolik-balik buku fisika tanpa benar-benar membacanya.
Semua masih baik-baik saja kala pelajaran pertama dimulai hingga selesai sembilan puluh menit kemudian. Masih tidak ada yang aneh ketika satu per satu teman kelasnya meninggalkan ruangan dengan menenteng seragam olahraga. Namun, tangan Zetta yang tengah merogoh tas untuk mengambil pakaiannya, tak menemukan apa pun.
Jantung gadis itu mulai berdegup satu tingkat lebih cepat. Dengan gusar ia mengobrak-abrik isi tasnya, menumpahkan semua barang di dalam tas ke atas meja.
Nihil!
Apa ia yang ia cari tak kunjung menampakkan wujud. Hanya ada buku-buku, kotak pensil, dan kertas-kertas yang terlipat. Setali tiga uang dengan laci meja yang kosong melompong!
"Ze, ayo buruan, nanti kita telat ke lapangannya," ucap Maura dari ambang pintu.
Bahu Zetta melemas. Gadis itu terduduk di atas kursi dengan wajah nelangsa. "Kalian duluan aja deh, seragam gue ketinggalan."
"Beneran? Coba cari yang bener dulu, mana tahu nyelip gitu di mana."
"Nggak ada, Mau, mana bisa nyelip kain setebel itu."
"Seriusan nggak masalah kita tinggal?"
"Iya. Udah sana, nanti Pak Bambang hukum kalian juga kalau sampai telat."
Meski enggan dan tidak enak hati pada Zetta, Maura dan Gea akhirnya membawa tungkai berlalu menuju toilet. Meninggalkan Zetta dalam ruang kelas bersama kesunyian yang membelit.
Zetta mengusap kasar wajahnya. Ia sama sekali tidak mengingat pasal seragam olahraga dan segala tetek bengek urusan sekolah hari ini. Dia menyiapkan tas serampangan, yang penting tasnya terisi.
Emosi membuat kerja otak Zetta tumpul. Dia tidak bisa berpikir jernih dan terkesan terburu-buru. Yang ia inginkan hanya lekas tidur dan bangun dengan suasana hati membaik ke-esokan hari.
Kabar buruknya adalah, dia harus berurusan dengan guru terdisiplin sejagat Darma. Dia tidak menyukai murid yang lalai dan suka main-main. Konsekuensi yang ia beri membuat murid-murid enggan terlibat masalah dengannya.
Dalam situasi sekrusial itu, pikiran Zetta teralihkan oleh suara dehaman seseorang. Zetta kontan mendongak dan mengernyit bingung kala menemukan Juna berdiri menyandarkan bahu pada kusen pintu. Cowok itu menatap Zetta dengan sepasang alis mata tebal terangkat.
"Kenapa masih di sini?" tanya Juna berderap memasuki kelas. Lengan panjangnya menjangkau penghapus dan mulai meniadakan rumus-rumus yang berserakan di atas papan tulis putih. "Kamu nggak mau ganti baju?"
"Ketinggalan, Jun," jawab Zetta lesu. Gadis itu melipat lengan di atas meja dan merekam semua kegiatan Juna dalam bidikan mata.
"Padahal semalam aku udah ingatin kamu lewat WA. Tapi mungkin kamunya sibuk banget jadi nggak sempat buka pesanku."
![](https://img.wattpad.com/cover/207174993-288-k534148.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Arzetta #ODOC [COMPLETED]
Teen FictionArzetta Qirani Akbar hanya menginginkan sebuah kebebasan. Namun, begitu kebebasan dalam genggamannya, Zetta tidak merasa lega. Ia justru merasa hampa dan kosong. Ia kehilangan banyak hal. Copyright © 2019 by Welaharmy_21 --- [Sedang Dalam Proses Rev...