Sembilan

83 16 0
                                    

Deruman mesin motor yang sahut-menyahut meningkahi malam. Memecah keheningan dengan bingar tak tertahankan. Asap knalpot mengepul, menyatu bersama asap rokok yang dilepas ke udara bebas. Manusia-manusia pecinta kebebasan dan penentang aturan itu bersusun di pinggir lintasan. Bersorak heboh menyemangati pembalap malam ini yang tengah menjejal lintasan.

Semua bersuka-cita, seakan memang begitulah hidup seharusnya dijalani. Bebas dan lepas agar tetap waras.

Tak jauh dari sumber keriuhan, Ares duduk di atas motor besarnya dengan rokok tersulut di ujung jari. Manik jelaganya menontoni dengan malas pembalap-pembalap amatiran itu.

Sesekali dia berdecak, tetapi lebih banyak diam menikmati sensai asap beracun mengisi paru-parunya yang menyempit. Ia merasa tenang, beban seolah melayang. Dunia jadi bersahabat dalam pendar matanya.

Sudah sejak satu jam lalu Ares di sana, dan posisinya bahkan tidak bergeser walau seinci. Bingar tidak membuat telinganya pengar. Sudah biasa. Kebisingan seolah menjadi temannya sehari-hari. Sederhananya, Ares memang sangat membutuhkan keriuhan. Dia mendengus, benci mengingat persoalan hidup.

"Woi! Ngelamun bae lo!"

Ares menatap malas pada Boim yang datang bersama dua teman mereka. Tiga manusia itu berdiri di dekat motor Ares, saling beragantian memakai pemantik dan menyulut rokok hasil merampas punya Ares.

"Lagi ada angin apa nih sampai seorang Ares mojok di sini bukannya ikut trek-trekan? Tumben bener."

Ares menghisap rokoknya dalam-dalam, yang kemudian diembus perlahan membentuk pola lingkaran. "Saingan malam ini nggak ada menantang-menantangnya. Amatir semua, nggak selera gue."

Tiga temannya mencibir. Namun mereka tidak menampik, untuk pembalap liar sekelas Ares yang sudah punya jam terbang banyak, amatiran yang berpacu di jalur lintasan saat ini memang tidak ada apa-apanya, payah! Bukan tandingan Ares si Raja Jalanan.

"Tapi si Niko ikut balapan juga asal lo tahu."

"Halah Can ... Can, macam nggak tau aja lo sama si Kadal Buntung satu itu. Merdeka malah dia nggak ada Ares."

Gemuruh makin menggema dari arah jalur balapan. Keempat badung itu menoleh pada satu titik bersamaan.

Balapan sudah berakhir. Mereka sontak sama-sama melengos begitu tahu siapa yang memenangkan balapan malam ini.

Niko!

Cowok itu terlihat semringah merayakan kemenangan. Menikmati orang-orang mengerubunginya memberi selamat. Lantas Niko menoleh pada Ares, melempar seringai yang membuat Ares melengos muak.

"Dasar kampret, belagu banget itu bocah gayanya."

"Udahlah, biarin sableng itu nikmatin kemenangan pertamanya."

Tiga temannya tertawa mengaminkan kalimat Ares. Sudah jadi rahasia umum bila Niko sangat berambisi mengalahkan Ares, tapi sayang mimpinya terlalu tinggi. Mengalahkan Ares sama saja menantang serigala dengan modal nekat. Tidak mungkin kalau bukan dengan akal bulus.

"Lo ngilang ke mana tadi sampai balik-balik udah bereng Zetta?" tanya Boim ingin tahu. Ia menatap Ares dengan alis mata terangkat.

Tadi sewaktu akan ke toilet di rumah Maura, tidak ada angin tidak ada hujan apalagi badai, cowok itu melihat Ares dan Zetta berjalan bersama. Membuat Boim curiga ada sesuatu yang sedang berlangsung di antara mereka sejak tidak sengaja bersua di IMF tempo hari.

Memang bukan ranahnya ikut campur, tetapi Boim merasa harus mengingatkan Ares agar tidak macam-macam pada gadis polos tersebut.

"Ngopi. Kenapa? Cemburu lo?"

Arzetta #ODOC [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang