Jika berdiri adalah sebuah kesalahan,
Apakah duduk diam merupakan jawaban yang benar?
Jika berlari berarti mengorbankan sesuatu yang berharga,
Apakah mundur ke belakang akan menyelamatkannya?
***
Cltang! Cltang! Cltang!
Dua bilah pedang tumpul saling beradu satu sama lain. Serangan yang dilancarkan oleh lelaki berambut hitam legam itu berhasil ditahan oleh lawannya berulang kali. Namun serangan demi serangan tetap ia luncurkan dari berbagai sisi dan berharap lawan memberikan sebuah celah untuknya.
"Anda sudah semakin lihai, Yang Mulia," ucap Dedic sambil menahan serangan Andrew. "Sekarang giliran saya yang akan menyerang Anda. Bersiaplah, Yang Mulia."
Dengan gerakan yang gesit, Dedic mengayunkan pedang yang ada di tangan kanannya dan membuat Andrew mundur selangkah demi selangkah. Serangan itu dilancarkan bertubi-tubi dengan jeda yang amat singkat. Andrew yang terus bertahan juga sedang memikirkan sebuah rencana untuk membalikkan keadaan.
Dedic tersenyum melihat kegigihan Andrew dalam menahan setiap serangannya. Seolah mampu melihat gerakan lawan, Dedic menghentikan serangannya dan mundur selangkah.
Andrew tersenyum. Ia sudah menanti Dedic untuk melakukan hal tersebut. Lelaki itu langsung menerjang dan melesatkan sebuah tusukan lurus ke arah kepala lawannya.
"Saya yang menang, Yang Mulia," ucap Dedic sesaat ia melihat serangan itu dan tengah mempersiapkan diri untuk menghempaskan pedang Andrew.
"Ini kemenanganku, Dedic," balas Andrew seketika.
Pedang yang digunakan Andrew untuk melancarkan serangan itu ternyata dilepaskan menjadi sebuah lemparan yang lurus. Dedic yang terlanjur mengayunkan pedangnya untuk menghempaskan pedang Andrew itu tidak sempat merubah posisi tubuhnya. Dengan gesit Andrew berhasil menangkap pergelangan tangan kanan lawannya, mendorong dan menghempaskan tubuhnya ke tanah. Tubuh Dedic pun tertindih oleh Andrew dan tangannya tidak dapat bergerak. Lalu Dedic melepaskan pedang dari genggamannya dan menimbulkan bunyi yang bergema. Bunyi itu menjadi peluit berakhirnya latih tanding sore ini.
"Anda menang, Yang Mulia." Dedic tersenyum sambil mengatur napasnya. "Itu benar-benar taktik yang luar biasa."
Tawa Andrew terlepas. Ia menyeka keringat yang menghalangi pandangan matanya. Lalu bangkit dan menyambut tangan Dedic untuk membantunya berdiri.
"Itu bukan sesuatu yang luar biasa, Dedic. Tapi licik."
"Tidak ada yang licik dalam sebuah pertarungan, Yang Mulia. Namun ..." Dedic berusaha menahan tawa walau sedikit terlepas. "Melempar pedang saat melakukan pertarungan pedang memang mengejutkan."
"Ayolah! Jangan tertawa!" Andrew merasa sedikit kesal. "Ini adalah kemenangan ke lima setelah puluhan kali kita berduel. Harusnya aku yang tertawa!"
"Maaf, Yang Mulia." Dedic menggaruk kepalanya.
"Cih! Kamu tidak bisa diajak bercanda!" Andrew menghela napasnya. "Namun jika dalam duel yang sesungguhnya, aku pasti tidak akan bisa mengalahkanmu, Mentor Dedic."
"Saya meragukan hal itu, Yang Mulia," balas Dedic. "Gaya bertarung Anda tidak terikat oleh aturan pedang mana pun. Itu sebuah ciri khas yang bisa membawa kemenangan."
"Kau ini terlalu pintar memuji, Dedic," sambung Andrew dengan tawa.
Selagi mereka berbincang, sorak sorai pelayan istana yang menyaksikannya menggema di udara. Andrew yang baru menyadari hal itu langsung melambaikan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remoire
RomanceAndrew Udanost adalah Raja dari Kerajaan Krale. Suatu hari, ia mendapatkan mimpi tentang kehidupannya dari dunia yang berbeda. Sebuah kehidupan di mana ia menikahi seorang wanita jelita dan terpisah oleh maut durjana. Andrew mencoba untuk mengabaika...