Bab 18 : Bulan - Bulan Kerinduan (Bagian Kedua)

9 0 0
                                    

Saat berada di dalam reruntuhan itu, Andrew dan Alia merasakan gempa yang sangat kuat hingga mereka harus saling berpelukan agar tidak terjatuh. Ketika getarannya berhenti, keduanya tidak merasakan ada sesuatu yang berbeda dari tempat mereka berpijak saat ini.

Saat merasa keadaan telah kembali normal, mereka pun bergerak maju. Lentera yang mereka bawa itu setidaknya mampu menerangkan beberapa meter di depannya. Dengan berjalan pelan dan penuh kehati – hatian, mereka mulai menyelusuri tempat yang digenangi air tersebut.

Andrew dan Alia berjalan mengikuti arah suara sumbang itu berasal. Setelah cukup jauh melangkah, mereka hanya menemukan jalan buntu. Yakni sebuah ruangan yang cukup luas tanpa ada sesuatu yang mencolok.

Keduanya pun menyusuri ruangan tersebut. Ada sebuah pintu yang sudah terlihat lapuk. Andrew mencoba membukanya namun pintu itu tidak bergeming.

"Biar aku saja, Andrew." Secepat dia mengatakannya, secepat itu pula Alia mendobrak pintu tersebut.

"Eh—Apa yang kau lakukan, Alia?"

"Mendobrak lebih cepat, bukan? Hehe."

Andrew takjub padanya. Melihat betapa cepatnya sang wanita dalam membuat keputusan, mengukirkan senyuman di wajahnya yang disertai tawa kecil. Alia juga ikut tertawa saat melihat Andrew tak mampu menahan suaranya.

"Ssstt!"

Tiba – tiba saja Andrew menaruh telunjuk di bibir Alia. Ia merasakan sesuatu yang bergerak. Saat ia melihat ke atas, tampak dengan samar tiang – tiang penyangga itu bergeser.

"Lari Alia!" Andrew langsung menarik Alia pergi melewati pintu itu, sebelum akhirnya tiang – tiang yang ada di atas ambruk, menyebabkan gelombang air yang cukup tinggi. Gelombang itu menghanyutkan mereka berdua hingga membentur dinding yang lain. Andrew berusaha melindungi Alia dari benturan itu. Jeritan kecil pun terlepas dari mulut sang lelaki.

"Andrew! Kamu tidak apa – apa?" Alia berusaha melihat lengan sang lelaki.

"Aku baik – baik saja, Alia. Tidak perlu khawatir." Lelaki itu langsung memeluk Alia erat. "Sepertinya kita harus mencari jalan lain."

Alia pun mengangguk. Keduanya melanjutkan langkah dalam genangan air yang telah mencapai perutnya.

"Andrew, ada lorong di sini!"

Sang lelaki langsung menuju ke arah Alia. Tanpa pikir dua kali, mereka langsung naik ke sana. Lorong itu terletak agak tinggi dari permukaan air. Dengan sedikit memanjat, mereka berdua bisa masuk ke dalamnya.

Namun tidak seperti tempat sebelumnya, lorong ini sangat kering. Bahkan saat melangkah perlahan, debu – debu itu dengan mudah bertebaran ke udara. Mereka berdua menutupi hidung dan mulut sembari berjalan pelan melewatinya.

Di ujung lorong terdapat tempat seperti ruang tahta. Ada kursi yang mirip seperti singgasana di tengah ruangan. Namun hanya itu yang terlihat. Mereka mencoba lagi untuk memeriksa sekeliling tempat ini. Setelah cukup lama mereka memeriksanya, keduanya tidak menemukan celah atau jalur menuju tempat yang lain.

"Kita terjebak?" celetuk Alia.

"Sepertinya." Andrew menghela napas panjang. "Ada ide selain memanjat tempat ini?"

"Tidak ada. Tapi tempat ini lebih baik dari pada di bawah tadi. Setidaknya kita bisa beristirahat sejenak di sini, Andrew."

Andrew pun duduk di tempat yang menurutnya cukup kering, sedikit debu dan memiliki dinding untuk bersandar. Setelah menyandarkan badannya ia langsung merasa ngantuk.

Alia pun ikut menyandar di dekatnya. Namun Andrew menarik lembut kepala Alia dan meletakkannya di pangkuannya.

"Istirahatlah jika kamu lelah, Alia. Setelah ini kita harus mencari jalan keluar lagi."

RemoireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang