Bab 19 : Janji Suci Dan Peniup Terompet Kehancuran

5 0 0
                                    

"I promise you my unconditional love, tenderness, and undying devotion, to not ask you to be more than you are, and to love you forever."

-Anonim

***

Setelah kembali dari pertemuan rahasia tersebut, Andrew masih tidak percaya dengan keputusan yang diucapkannya. Ia sering kali tersipu malu sendiri saat memikirkan kata – katanya yang sok keren kemarin.

"Yang Mulia, Anda baik – baik saja?" Dedic yang melihat tingkah majikannya itu membuatnya khawatir.

"Ah! Aku baik – baik saja, Dedic. Bagaimana persiapannya?"

Dedic melihat ke arah pintu dan memastikan tidak ada orang yang akan menguping pembicaraan mereka.

"Jas hitamnya telah dipesan dan kemungkinan akan selesai dalam dua minggu. Lalu untuk pesanan Anda tentang hadiah untuk Ratu Alia juga akan siap sekaligus."

"Syukurlah." Andrew menghempaskan punggungnya ke kursi. "Aku benar – benar khawatir sekali."

"Kalau begitu saya mohon pamit dulu, Yang Mulia. Ada pekerjaan yang harus saya selesaikan." Dedic melangkah keluar ruangan.

Ada sesuatu yang mengganjal di dalam batinnya tentang perilaku Dedic beberapa hari ini. Lebih tepatnya, ia mulai seperti itu setelah pulang dari pertemuan rahasia tersebut.

Namun seolah Dedic bisa membaca Andrew, ia selalu berhasil menghindari topik tersebut. Andrew tidak ingin membawa terlalu jauh permasalahan yang Dedic sendiri tidak ingin membahasnya.

"Asal dia bisa tersenyum, bukankah itu sudah cukup?" gumam Andrew sembari menutup matanya.

Hari demi hari pun terus berlalu.

Andrew tetap melakukan aktifitasnya seperti biasa. Hanya saja semakin waktu mendekati hari H tersebut, membuatnya semakin susah untuk tidur.

Moravia yang sesekali melihat kantung matanya itu menyarankan kepada Andrew agar mengambil cuti sehari. Namun Andrew bersikeras agar dapat menyelesaikan pekerjaannya seperti biasa. Moravia hanya bisa pasrah dengan keadaan ini.

Selain itu, ada hal yang masih membuat Moravia gelisah hebat. Yakni tentang pernikahan itu sendiri.

Tak ada yang mampu Moravia ungkapkan kala itu. Ia terbiaskan pada kebahagiaan dan kegusaran yang melanda sanubarinya. Namun setibanya ia di depan meja kerjanya, keruh masalah itu pun kembali menghantui pikirannya.

Haruskah ia hentikan rencana pernikahan tersebut?

Pertanyaan itu terus terngiang di dalam kepalanya. Bukanlah Moravia yang tidak menginginkan kebahagiaan Raja Andrew, namun ada sesuatu yang jauh lebih genting.

Bagi Moravia, pernikahan itu tidak hanya menikahkan tubuh keduanya. Namun juga hati mereka. Tatkala telah terikat janji, sang pemilik hati akan sulit untuk menentukan pilihan. Haruskah mereka memilih pengabdian pada cinta yang telah diikrarkan atau pengabdian pada kerajaan yang mereka cintai.

Hal itulah yang ingin Moravia hindarkan pada keduanya. Sayang, rasa cinta pada kebahagiaan Raja Andrew membuatnya tak mampu merangkai kalimat penolakan.

Hingga suatu hari, Moravia datang menemui Raja Andrew. Berbicara empat mata dalam masalah yang sangat serius tersebut.

Wajah yang ditunjukkan oleh penguasa Krale itu berkilauan. Senyumnya secerah mentari pagi. Sorot matanya begitu dekat dengan kebahagiaan. Kesemua itu membuat Moravia gentar. Ia sesekali menunduk saat mata mereka bertatapan.

Namun seolah Andrew bisa menerawang isi pikiran Moravia, raut gembira di wajahnya memudar.

"Haruskah aku membatalkannya, Kakek Moravia?"

RemoireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang