Bab 23 : Dia Yang Terkurung

1 0 0
                                    

Penyerangan simpatisan Jeden kemarin malam berhasil digagalkan. Dedic selaku pemimpin penyerangan langsung dipenjarakan dan akan dieksekusi mati dua hari kemudian. Kabar itu tentu saja menghebohkan seluruh istana. Mengingat tangan kanan sang Raja ternyata adalah pengkhianat yang tidak dapat diampuni.

Krale berhasil menumpas seluruh simpatisan Jeden yang menyerang Istana. Dengan informasi yang didapatkan oleh Kepala Pelayan, Krale juga berhasil menyerbu tempat berkumpulnya Jeden pada malam itu. Pertumpahan darah yang tak dapat dihindarkan.

Meski demikian, kemenangan yang didapatkan sangatlah mahal. Salah satunya adalah kematian kepala pelayan dan sejumlah bangsawan yang ada di istana. Ditambah lagi kematian para prajurit dan pelayan yang tidak sedikit jumlahnya.

Namun Andrew mengerti satu hal dari daftar korban yang telah diidentifikasi. Sebagian besar dari para bangsawan yang mati adalah mereka yang menjadi oposisi dirinya dan yang diduga berkomplot dengan Koruna.

Walaupun demikian, Andrew tidak tahu harus berbuat apa. Kebimbangan itu bergetar keras di dalam batinnya. Hingga membuat dirinya sulit untuk menelan makanan yang sedang dikunyahnya saat ini.

Sembari menatap rembulan yang bersembunyi di balik gelapnya awan, Andrew berbisik pada kebijaksanaan malam. Berharap sebuah petuah yang dapat menghilangkan kegusaran di dalam benaknya.

Dini hari, Andrew pergi ke penjara bawah tanah tempat Dedic ditahan. Kaki dan tangan Dedic dirantai, membuatnya tidak bisa bergerak bebas. Banyak sekali memar yang menghiasi tubuh lelaki tersebut. Andrew tak kuasa menahan air matanya. Isakan tangis Andrew itu pun terdengar oleh Dedic.

"And ... rew?" Dedic berbicara dengan rahang yang tak mau terbuka.

"Benar. Ini aku. Andrew."

Andrew berjalan mendekati jeruji besi itu. Ia meraih kepala Dedic yang tergeletak di lantai batu yang dingin.

"Kamu akan dieksekusi sekarang juga, Dedic."

Dedic mencoba menampakkan senyuman di wajahnya yang sudah bonyok.

"Ya ... itu memang ... pantas untukku ..."

"Kalau begitu jangan tidur – tiduran di sana." Andrew mengeluarkan kunci dan membuka pintu sel tersebut.

Ia melangkah masuk dan melepaskan setiap rantai yang mengekang lelaki itu. Lalu memberikan jubah hitam untuk menutupi tubuh Dedic yang nyaris telanjang.

Andrew pun membantunya untuk duduk. Lalu memberikan air minum kepadanya.

"Minumlah," ujar sang Raja. "Ini mungkin air terakhir yang bisa kuberikan untukmu."

Dedic menenggak air itu sedikit demi sedikit. Saat air itu telah habis, Andrew membantunya untuk berdiri dan berjalan keluar. Satu tangannya menopang Dedic dan satunya lagi memegang lentera.

"Ternyata kalau kamu lemah seperti ini sangat merepotkan, Dedic," celetuk Andrew.

"Maafkan ... aku, Yang Mulia."

"Eh! Kamu memanggilku dengan 'Yang Mulia' lagi. Sudah kubilang itu terlalu formal. Apalagi ini mungkin terakhir kalinya kita bisa bertemu, Dedic. Ayolah, bersikap seperti biasa."

Dedic diam membisu. Ia tidak mau menjawabnya.

Sepanjang perjalanan itu Andrew terus mengajaknya berbicara. Namun Dedic enggan menjawabnya. Entah mengapa kalau ia menjawabnya, membuat dirinya semakin berat untuk pergi ke tempat eksekusi. Sebuah ketakutan yang amat mendalam untuk berpisah dengan Andrew.

"Mohon berhenti, Yang Mulia." Salah satu penjaga penjara segera memeriksa orang yang ditopang sang Raja.

"Saya takut ... saya tidak bisa mengizinkan Anda membawanya, Yang Mulia."

RemoireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang