Bab 10 : Seribu Surat dan Melodi Keputusasaan ( Part II )

5 0 0
                                    

Salahkah jika aku menggantungkan harapan terakhirku pada sebuah tahayul masa lalu?

Kaki dan tubuhku terikat oleh beban yang tak sanggup kusingkirkan.

Berjalan seperti kura-kura dan bermimpi seperti pungguk yang merindukan rembulan.

***

"Wahai Rajaku! Berilah hamba keringanan sekali lagi! Hamba mohon!" pinta lelaki paruh baya yang mengenakan pakaian compang-camping.

Raja Andrew memainkan jemarinya sejenak, lalu melihat kertas yang ada di tangannya. Kemudian mendesah sejenak.

"Baiklah. Bayar semua hutangmu terhadap Tuan Benjamin beserta dendanya. Jika belum lunas juga, keberangkatanmu menjadi buruh di Tambang Branda akan segera dipersiapkan."

"Terima kasih, Yang Mulia Raja Andrew." Lelaki itu berlutut dan mensyairkan pujian kepada Andrew. Kemudian ia pamit pergi dengan wajah kegirangan.

"Anda terlalu lembek, Yang Mulia," bisik Koruna. "Harusnya orang seperti itu jebloskan saja ke penjara."

Andrew yang mendengar ucapan Koruna itu hanya bisa tersenyum datar.

"Aku tahu apa yang kuperbuat, Menteri Koruna. Anda tidak perlu khawatir."

Wajah Menteri Koruna menjadi kecut sekilas. Lalu ia pamit dan keluar dari aula istana.

"Yang Mulia." Seorang pengawal dari luar datang menghadap. "Antrian di luar sudah habis, Yang Mulia."

Andrew pun berdiri dari singgasananya. Kemudian melepaskan mahkota emas dan jubah kebesarannya lalu menyerahkannya kepada pelayan istana. Ia pun langsung berjalan menuju ruang kerjanya.

Di dalam ruangan itu Andrew melihat Dedic yang tengah berbincang dengan Jadiz.

"Aku tidak menyangka kalau kalian sedekat ini," celetuk Andrew.

"K-kami baru saja membicarakan Anda, Yang Mulia." Dedic gelagapan.

"Heh~ Benarkah begitu, Jadiz?" Mata Andrew mencoba menginterogasi pihak yang lain.

"Benar, Yang Mulia," jawab Jadiz sembari menebar senyuman yang membuat wajahnya terlihat seksi.

Andrew terkesiap melihat respon Jadiz yang makin hari semakin terlihat seperti wanita yang begitu menggiurkan.

Tak berapa lama, Jadiz pamit keluar untuk membawakan makan siang untuk Andrew.

"Jadiz bisa menjadi pengantin yang sesuai denganmu, Dedic."

"Berhentilah bercanda, Yang Mulia. Saya dan Jadiz tidak memiliki hubungan spesial."

Sorot mata Andrew masih terlihat tidak puas. Namun ia menepis perasaan itu jauh-jauh. Andrew pun langsung menduduki kursi dan mengeluarkan amplop dari lacinya.

"Anda akan menulis surat lagi, Yang Mulia?" tanya Dedic penasaran.

"Ya. Menulis surat ternyata bisa begitu menyenangkan," ucap Andrew sembari menyerahkan surat yang telah dimasukkan ke dalam amplop. "Mohon bantuannya, Dedic."

"Sudah menjadi tugas saya, Yang Mulia."

Dedic pun melangkah pergi. Namun langkahnya terhenti saat membuka pintu.

"Ada apa?" tanya Andrew.

"Maaf jika saya lancang, Yang Mulia. Namun mengapa Anda masih tetap mengirim surat kepadanya sementara sudah tiga bulan ini tidak ada surat balasan sama sekali?"

Andrew paham sekali mengenai kekhawatiran Dedic.

"Jika ingin permintaanmu terkabul, kamu harus membuat seribu origami."

RemoireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang