Bab 16 : Seutas Kenyataan Dan Kelabu Lampau (Part II)

3 0 0
                                    

Zena melihat sekelilingnya.

Sungguh ia tidak percaya kalau benar ada desa di sekitar sini. Apa yang dia lihat adalah sebuah perkampungan yang begitu hidup dan makmur. Petani yang sedang menggemburkan tanah, anak - anak kecil yang berlarian ke sana kemari, dan para pemuda - pemudi yang sedang berbincang di tepi jalan. Sang menteri hanya bisa tertegun dan sedikit menyesal karena desa ini luput dari jangkauan kerajaan.

Zena pun bertanya pada seseorang yang ada di tepi jalan. Sesaat mendengar nama yang dimaksud oleh Zena, pria tersebut menunjuk ke arah rumah yang tak jauh dari mereka. Zena berterima kasih dan bergegas menuju ke sana.

Setibanya di depan rumah tersebut, Zena menyuruh pasukannya agar bersiaga di luar. Ia pun mengikat kudanya pada pepohonan terdekat lalu mendekati pintu rumah tersebut. Zena mengetuknya dan sesosok lelaki tua muncul dari dalam rumah.

"Apakah ini benar kediaman Eva Radsetoulal?" ujar Zena.

Lelaki itu melihat ke belakang sejenak. Tampak sesosok wanita dewasa yang juga ikut mengintip.

"Iya ... benar. Eva tinggal di sini. Ada perlu apa, ya?" ujar lelaki itu.

Zena pun menyerahkan benda yang ia dapatkan dari lelaki bangsawan sebelumnya. Seikat rambut keemasan, beberapa surat dan sejumlah keping emas.

Tangis lelaki itu pecah seketika. Sang wanita berusaha menahan gejolak yang menyeruak dari benaknya. Sebuah kenyataan yang mau tak mau harus mereka berdua hadapi. Zena tidak bisa berkata sepatah kata pun pada keduanya. Ia hanya ikut memilu dalam dilema kelabu.

Setelah tangisannya mereda, lelaki dan wanita itu meminta maaf dan mempersilakan Zena untuk masuk. Dirinya ingin menolak, namun seolah keduanya ingin seseorang tetap bersama mereka. Sebuah kekhawatiran masuk dan melunakkan hati sang menteri.

Zena duduk di sebuah kursi kayu. Ia disuguhi secangkir teh dengan wadah seadanya. Zena pun meminum teh tersebut perlahan hingga habis. Lalu meletakkan kembali cangkirnya dan melihat lelaki yang duduk di depannya masih mengalirkan air mata.

Zena memantapkan niatnya dan mulai bercerita. Ia menjelaskan penyebab kematian Eva sebagaimana yang ia dengar dari orang yang menemukannya. Tentu saja hal tersebut akan menambah kepiluan bagi keduanya. Namun sebuah kebenaran akan kenyataan pahit itu harus tetap mereka ketahui.

Setelah selesai menjelaskan, Zena menyerahkan semua barang Eva ke atas meja. Seikat rambut pirang, beberapa surat dan kepingan emas. Sang Menteri pun menyodorkannya ke hadapan sang lelaki. Namun telunjuknya mengisyaratkan untuk membuka suratnya terlebih dahulu.

"Silakan dibaca surat - suratnya," ujar Zena. "Saya rasa itu mungkin pesan untuk kalian berdua."

Lelaki itu pun memanggil sang wanita untuk membacanya bersama.

Setiap detik yang berlalu, air mata mereka terus mengalir. Zena hanya bisa melihat tanpa mampu meringankan kesedihan yang mereka tanggung. Namun Zena terkejut saat keduanya tiba - tiba tersenyum lebar. Suara tawa pelan jua keluar dari bibir keduanya. Sesudah membaca surat, lelaki dan wanita itu menyeka air matanya. Hingga sebuah kata yang tidak masuk akal terdengar oleh Zena.

"Syukurlah ... syukurlah, Eva." Sang lelaki menatap Zena dengan sebuah senyuman yang begitu tulus. "Terima kasih banyak telah mengantarkannya sampai ke tempat ini, Nona Bangsawan."

Zena menggeleng pelan. "Tidak perlu berterima kasih. Saya hanya kebetulan lewat saja."

"Walau demikian," sahut sang wanita. "Kami benar - benar berterima kasih atas kebaikan Nona."

Zena semakin tidak mengerti. Sebelumnya kedua pasangan ini menangis tersedu - sedu, kini seolah mereka telah mampu melepas kepergian Eva. Hal itu memancing rasa penasarannya.

RemoireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang