Dikehidupanku yang sempurna pun aku tidak pernah membayangkan diriku berada pada posisi seperti ini. Dua pria dingin yang yang saling menatap dalam diam menyingkirkanku dengan keheningan yang kian lama kian mencekam. Mereka terasa asing dan dekat di waktu bersamaan. Aku tidak mengerti apa yang terjadi di antara mereka jauh sebelum aku mengenal satu di antara keduanya.Kakiku membeku di pijakan yang terasa terpaku. Tangan Jungkook pun belum melepaskan kendati tubuhku sudah diturunkan beberapa menit yang lalu demi menatap langsung pada eksistensi pria yang memberi titahan mutlak untuk menurunkanku.
"Bisa kau lepaskan tanganmu darinya?" Yoongi bersuara lebih dingin dari sebelumnya. Tatapan matanya menghujam langsung pada mata Jungkook yang masih tampak tenang dalam posisinya.
Langkah Jungkook semakin mendekat, menarikku kuat pada sisi kirinya. "Apa yang salah? Aku hanya melakukan apa yang tidak bisa kau lakukan untuk melindungi milikmu."
Yoongi terdiam, mata dingin itu beralih padaku. Kalau dia masih mempertahankan wajah satu ekspresinya itu saat ini. Aku tidak pernah bisa melakukan apapun untuk berjalan mendekatinya. Tidak ada satupun arahan yang bisa aku asumsikan hanya dengan tatapan mata. Kenyataan Yoongi tidak pernah terbaca membuat tanganku gatal ingin menjambak rambutku sendiri.
Aku bukannya mempercayai Jungkook, tapi aku sedikit kecewa dengan Yoongi yang selalu bersikap apatis saat aku berurusan dengan geng dainty.
Dan ketika Jungkook menunjukan jika dia bisa membangkitkan harga diriku di depan geng dainty, Yoongi diselubungi amarah dan kecewa lantaran aku membiarkan Jungkook membuatku sedikit lega dengan sesaknya pembully-an yang kuterima. Apa Yoongi lebih suka aku menjadi pasif menghadapi geng dainty?
Dengan diamnya Yoongi, Jungkook berpersepsi tidak ada yang menghalangi lagi. Maka, dengan langkah ringan, Jungkook kembali menarikku berjalan beriringan dan terhenti kembali saat lengan kiri ku yang bebas mendapat cekalan Yoongi.
Jungkook tersenyum tipis menatapku sekilas sebelum mata tajamnya bertumpu pada tangan Yoongi yang menahan lenganku. "Masih ada yang ingin kau bicarakan?"
Kurasakan cengkeraman Yoongi semakin mengerat. "Ada, tapi bukan denganmu."
Tarikan Yoongi begitu kuat dan aku meringis dengan tangan Jungkook yang tidak melepaskanku. Aku tertahan dan aku rasa kedua lenganku akan memar setelah ini.
Mataku menatap bergantian pada Jungkook dan Yoongi yang masih saja dibuai bungkam dan memberikan atmosfer asing untukku. Seakan mereka ingin aku bertahan di antara kebisuan yang mencekik.
Mereka tetap sama sementara aku sudah hampir pada batasnya. Menunggu salah satu dari mereka membuka suara dan mendapat setidaknya sedikit titik terang kenapa aku diharuskan terjebak di antara pria-pria dingin ini.
Nyatanya Yoongi maupun Jungkook senang dalam teka teki yang mereka tawarkan. Aku sukses dibuat bingung dengan tanda tanya yang kian membesar sekaligus kesal luar biasa.
"CUKUP!" Bentakku mendapat atensi dari mereka. "Aku tidak butuh bantuan kalian." Menyentak kasar kedua cekalan di masing-masing lenganku. Aku berbalik dan berjalan secepatnya. Terserahlah, mereka berdua membuat kepalaku semakin sakit dan menambah masalah dari sekian banyak masalah yang kupunya. Aku lelah.
••
Hari ini untuk pertama kalinya aku tidak menemukan para penghuni meja nomor 6. Aku tidak lega, kata lega sudah terlalu jauh meninggalkanku. Aku hanya berpikir mereka mempersiapkan sesuatu yang lebih dari yang sebelumnya. Aku hanya perlu menunggu besok.
Sudah pukul sembilan malam saat aku melirik jam yang tergantung apik di dinding cafe. Tangan kiriku menyemprotkan cairan pembersih pada permukaan meja dan mengelapnya, membersihkan noda saus yang hampir mengering.
Langkahku menuju pada meja berikutnya terhenti dengan decakan kesal yang meluncur dari bibirku.
Jungkook seolah tidak peduli akan ketidaksukaanku dengan presensinya. Mata tajamnya menatapku dan melirik kursi di hadapannya.
Apa bedanya dia dengan Yoongi? Mereka seperti akan meninggal dunia jika mengeluarkan suara walaupun hanya untuk menyapa. Dan yang lebih parah lagi, aku menurut saja dan membawa tubuhku yang lelah duduk di balik meja.
Berbicara lewat mata bukanlah keahlianku. Tapi, kenapa pria yang aku temui mengharuskanku mengerti apapun yang mereka ingin aku mengerti lewat tatapan mata. Keduanya sama, baik itu Yoongi ataupun Jungkook.
Perihal sifat pun mereka tidak jauh berbeda. Dingin dan tidak banyak yang kutahu. Dan mungkin juga aku tidak ingin tahu.
"Kalau kau tidak ingin bicara—–"
"Diam saja, kau tidak perlu bicara sekarang." Potong Jungkook membuatku kesal setengah mati.
"Lalu untuk apa kau menyuruhku duduk di sini?" ucapku masih mencoba tenang dengan pria menyebalkan di hadapanku.
"Aku membayar waktumu, aku berhak meminta kau diam atau berbicara selama waktu yang telah sepakat kubayar."
Alunan musik klasik yang selalu diputar mengisi keheningan cafe ini menjadi satu-satunya suara. Dan kurang dari setengah jam lagi jam kerjaku akan berakhir. Sekarang atau tidak sama sekali. Aku akan bertanya semua yang menjadi benang kusut dalam memoriku.
"Apa yang terjadi antara kau dan Yoongi?" Meski aksenku terdengar tenang. Aku berusaha mati-matian untuk tidak terintimidasi dengan tatapannya.
"Aku sudah bilang untuk tidak berbicara." Suaranya lebih tenang dari yang kupunya, tapi nada tidak bisa dibantah terselip jelas di sana.
Aku memilih bebal dan berpura-pura tidak mengerti saat ini. Karena masalah yang terlalu rumit dan tidak berujung ini bisa membuatku semakin kehilangan kata "tidur" untuk selanjutnya.
Sedikit memajukan tubuhku. "Apa pernah terjadi sesuatu di masa lalu hingga Yoongi begitu membencimu?"
Sudut bibir Jungkook tertarik, menyeringai dan ikut memajukan tubuhnya. "Aku pikir kau semakin banyak bicara akhir-akhir ini," bisiknya.
"Itu yang ingin kukatakan padamu," sahutku sinis.
Aku tidak tahu bagaimana cara menggambarkannya, ekspresi Jungkook cukup membuatku kaku untuk sesaat.
"Kau ingin aku membuat mulutmu diam? Teman-teman kerjamu sepertinya menjadikan kita tontonan menarik saat ini," bisik Jungkook teramat pelan hingga hanya aku dan Jungkook yang bisa mendengarnya.
Tanpa menoleh pun aku tahu karyawan satu shift denganku tengah memperhatikanku dari jauh.
"Kau mengancamku?"
"Kau merasa terancam rupanya." Jungkook semakin menyeringai.
Aku menjauhkan kembali tubuhku pada posisi dudukku semula. Jungkook melakukan hal yang sama dengan mata yang masih setia mengintimidasiku. Tapi aku cukup bertahan dengan ini. Aku belajar untuk tidak terintimidasi dan aku bisa melakukannya dengan baik.
Aku berdiri, mendapati jam kerjaku yang sudah berakhir dari tiga menit yang lalu. "Mulai besok jangan pernah membeli waktuku lagi." Berjalan hingga saat tubuhku berada di samping Jungkook. "Kecuali kau ingin membuat pengakuan tentang masalahmu dengan sahabatku."
Belum sempat aku mengambil langkah pergi, tawa Jungkook menarik atensiku.
"Jadi kau menganggap dia sahabat?" Alisnya naik sebelah saat bertanya dengan aksen puas.
"Aku menganggapnya apapun itu bukan urusanmu."
"Teruslah seperti itu Jiyeon, kita lihat apa yang bisa dilakukan oleh seorang sahabat untuk menyelamatkanmu."
Sungguh. Aku tidak bisa berhenti penasaran di setiap kalimat tidak jelas yang terlontar dari bibir tipis Jungkook. Aku yakin ada sesuatu yang teramat penting terjadi beberapa tahun lalu antara kedua pria dingin tersebut.
"Tanyakan satu, aku tahu begitu banyak yang ingin kau tanyakan sekarang," ujarnya yang kini sudah berada di hadapanku.
Sial!
Dia bisa membaca pikiranku sementara untukku dia membuat pembatas yang sulit kutembus.
"Kau menyukaiku?"
•••
Vschoco_
