✡01

16.7K 1.2K 86
                                        

Entah sejak kapan suara tawa begitu menyakitkan untuk runguku. Tawa bahagia dengan kepuasan setelah melakukan pertunjukan yang menghibur diri mereka.

Aku enggan menaikan pandang, kedua tanganku yang berada di pangkuan meremat tepian rok yang sudah berlumur tepung dan telur. Lantai toilet yang dingin menyentak lututku dengan luka gores akibat dipaksa berlutut di hadapan mereka.

"Minja, ini masih belum cukup," ucap perempuan yang paling memegang kuasa di antara ke lima teman-temannya. Teman? Entahlah. Aku tidak mengerti pertemanan antar mereka. Kadang yang kulihat mereka saling menyakiti dengan kata-kata saat berbicara tentang harta dan pria.

Yang dipanggil Minja pun pergi ke sudut toilet, dan beberapa detik kembali dengan ember yang dengan susah payah dibawanya.




Byurrrr!




Mataku memicing dengan mulut terkatup rapat saat hantaman air menampar wajahku. Disusul bau menyengat yang siap mengocok isi perutku. Seolah tidak cukup dengan tepung dan telur busuk, mereka juga menyirami air bekas pel lantai ke sekujur tubuhku.

Mereka tertawa lepas, aku jadi khawatir rahang mereka akan lepas atau terjadi kaku pada otot wajah jika mereka selalu tertawa seperti itu. Menepuk-nepuk tangan dan berseru padaku.

"Bau kotoran!" Disela tawa mereka yang bahagia, aku mendengar beberapa kalimat yang pantas untuk keadaanku sekarang; busuk, kotor, menjijikan, hidup di antara tumpukan sampah. Aromaku bahkan tidak lebih baik dari limbah.

Setelah mereka puas melakukan kegiatan rutin mereka tiap harinya. Para gadis yang berseragam sama sepertiku pun keluar dari toilet. Tunggu—–tidak sepenuhnya sama. Seragam mereka mempunyai aroma parfum mahal, bukan seperti seragamku yang berbau anyir menjijikan.

Aku bangkit dengan susah payah. Pantulanku di cermin membuat sudut bibirku tertarik sedikit. Aku salut pada mereka yang sangat ahli dalam menghancurkan penampilanku.

Menyeret paksa kedua kakiku yang perih tiap kali menginjak permukaan lantai kasar di koridor sekolah. Sesekali mengerang lantaran perihnya begitu menyentak hingga aku harus mengigit bibir bawahku upaya menahan sakit. Terlebih air kotor yang menetes dari seragam lusuhku mengenai beberapa luka segar yang belum terobati sama sekali. Aku hanya berharap supaya luka yang menganga tidak terinfeksi.

Membuang nafas panjang, aku lupa mengambil sepatuku yang mereka masukan ke dalam kloset. Berdoa saja jika seseorang akan melihat sebelum langsung menggunakan toilet. Aku tidak sanggup membayangkan mencuci sepatuku yang  satu-satunya terkena kotoran manusia.

Tanganku terangkat untuk membuka loker. Hanya ada beberapa buku dan alat tulis milikku. Huft ... aku lupa, seragam olah ragaku baru saja kujemur tadi pagi.

Aku meraih beberapa plester dan sekotak obat luka di atas kamus bahasa. Sejak kapan aku memliki benda ini?

"Ini." Mataku tertuju pada pakaian olah raga yang disodorkan di depanku. Lalu menoleh ke kanan, satu-satunya manusia di sekolah ini yang mau menjalin pertemanan dengan orang sepertiku.

Aku tersenyum sebagai ucapan terimakasih padanya setelah menerima seragam olah raga milik pria itu. Karena si dingin Yoongi tidak suka kata terima kasih keluar dari bibirku setelah dia memberiku bantuan.

Aku sudah mengenal Yoongi dua tahun belakangan ini. Meski dingin dan cuek, dia selalu ada saat keadaanku yang menyedihkan.

"Aku lelah menasehatimu."

"Aku tahu ... Tapi aku hanya perlu bertahan beberapa bulan lagi." Ini tahun terakhirku mengenyam pendidikan dan pembullyan di sekolah mengerikan ini. Di mana murid kaya raya lebih berkuasa dari pemilik sekolah sekalipun.

Deviate✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang