4. MENYERAHKAN DIRI

372 63 36
                                    

Monita harus ikhlas hari Senin pertamanya di usia tujuh belas tahun akan menjadi salah satu hari terpanjang dalam hidupnya. Setelah pelajaran Penjas, Kana tidak kembali dari UKS. Kondisinya sepertinya lumayan serius sampai-sampai harus izin pulang. Sudah pasti itu bukan kabar bagus. Tanpa Kana, Monita tidak punya penengah jika-jika Delia merongrongnya dengan berbagai pertanyaan seputar kado Dirga.

Saat jam istirahat pertama, rasa penasaran Delia dan Priska bisa teralihkan karena mereka sibuk menemani Kana menunggu jemputan. Namun, untuk jam istirahat selanjutnya, dia tidak yakin bisa selamat.

Di penghujung pelajaran TIK, pikiran Monita semakin bercabang. Mereka baru saja selesai mengerjakan kuis singkat, kemudian guru mereka memberikan tugas untuk ujian praktik akhir semester.

"Bapak mau kalian liput kegiatan sekolah, boleh ekskul, klub baca di perpus, atau aktivitas apa aja, selama masih di lingkungan sekolah. Hasilnya dipresentasikan semenarik mungkin dalam format video. Satu kelompok ada lima atau enam orang. Kalian sendiri yang tentukan, ya. Nanti Bapak kasih contoh videonya ke Jhoni."

Kelas menjadi riuh rendah. Ada yang bertanya detail lebih lanjut, ada yang berdiskusi dengan teman sebelah, ada yang langsung cari-cari teman kelompok.

"Moni, lo sama Kana mau ikut kelompok kita, nggak?"

Monita mengangkat kepalanya untuk memastikan tawaran yang baru saja didengar memang datang dari meja di depannya. Fara, yang duduk di sebelah Risma, tampak memutar badannya untuk menghadap Monita.

Fara dan Risma, teman semeja yang karakternya bertolak belakang. Fara irit ngomong, sementara Risma ceplas-ceplos. Di antara mereka, jika ada diskusi atau pemungutan suara, biasanya Risma yang bakal jadi juru bicara Fara. Orang-orang tidak terlalu keberatan, soalnya Fara selalu bicara dengan nada pelan. Ditambah, setiap kali memandang lawan bicaranya, dia terlalu sering memperbaiki poni.

Karena situasinya sangat tepat, Monita mengangguk tanpa pikir panjang.

"Oke. Berarti udah pas, kita berenam," kata Risma begitu menerima persetujuan Monita.

"Berenam?" tanya Monita, bersamaan dengan bunyi bel istirahat. Matanya pun mulai aktif melirik-lirik ke arah pintu kelas, waspada akan kedatangan Delia dan Priska. Biasanya mereka akan mampir ke kelasnya beberapa menit setelah bel berbunyi.

"Iya, bareng Jhoni-Aceng juga."

Satu kelompok dengan Jhoni bukan masalah bagi Monita. Namun, beda jika bersama Aceng.

Di kelasnya, tidak banyak yang berani dekat-dekat dengan Aceng karena rumor baca pikiran itu. Apalagi perempuan. Dulu, saat awal-awal rumor itu menyebar, beberapa anak laki-laki suka bercanda dengan meminta Aceng menerawang siapa yang lagi ditaksir si A, atau apa nama akun alter si B. Terkadang ada juga yang menjadikan Aceng sebagai pendeteksi kebohongan. Mulai saat itu, orang-orang hanya berurusan dengan Aceng seperlunya saja. Termasuk Monita.

Saat dia tidak punya rahasia saja Monita masih agak ngeri berada dekat-dekat dengan Aceng. Apalagi sekarang, ketika dia tengah membohongi semua teman-temannya.

"Jhon, Jhon, Moni sama Kana masuk kelompok kita, ya," lapor Risma tanpa menyadari wajah bimbang Monita.

Jhoni yang duduk di baris paling depan, tepat di depan meja Risma dan Fara, mengacungkan satu jempolnya tanpa memalingkan wajah. "Bagus, bagus. Berarti kita punya kameramen pro."

Monita hanya menghela napas pasrah. Dia tidak punya waktu untuk mengganti kelompok. Dari balik jendela yang mengarah ke koridor, tampak di luar sudah ramai. Orang-orang mulai mengarah ke kantin, ada juga yang mengobrol di bangku depan kelas, atau sekadar lewat entah mau ke mana. Buru-buru Monita membereskan buku dan peralatan tulis. Saat berusaha keras memikirkan tempat untuk bersembunyi, terdengar seruan dari arah pintu kelas.

Kacamata MonitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang