21. CINTA PERTAMA (BAGIAN 1)

154 24 6
                                    

Delia dan Priska tidak mengajukan pertanyaan apa pun, dan Monita tidak tahu harus bersyukur atau waspada. Semua berjalan wajar. Bel istirahat berbunyi seperti biasa, mereka berempat ke kantin seperti biasa, duduk di meja seperti biasa, memesan jajanan seperti biasa, dan mengobrol seperti biasa. Tidak ada yang menyinggung soal tadi pagi. Monita sempat berpikir, apa mungkin Delia dan Priska percaya dengan alasan "dipanggil ke ruang guru"? Sungguh hal yang langka.

Sambil bersandar di kursi kantin dan mengunyah roti isi yang dibagi-bagikan Kana dari kotak bekalnya, Monita menyimak obrolan dan mengamati gerak-gerik Delia yang duduk di hadapannya. Delia hanya menghabiskan roti isinya dan sedang meneguk air mineral dingin. Saat itu dia menyadari benda yang melekat di pergelangannya berbeda dari biasanya.

"Jam baru, Del?" Ternyata Kana juga menyadari hal yang sama. Jam tangan yang dikenakan Delia bukan lagi jam tangan pemberian Dirga.

Delia menaikkan kedua alisnya sambil menutup botol air mineral. "Ah, yeah, bosan aja sama yang lama," katanya sambil memain-mainkan jam tangan dengan rantai perak di pergelangan kirinya. Meski desainnya sederhana, jam tangan itu membuat penampilannya lebih elegan. Jika Monita jadi Delia, dia juga akan lebih memilih jam tangan yang sedang dikenakan, daripada jam tangan ungu yang diberikan Dirga. Namun, mengingat betapa bangganya Delia saat memamerkan jam tangan ungu itu, agak mengherankan jika dia begitu cepat berubah pikiran.

"Perasaan lo senang banget pas Dirga kasih jam itu ...." Monita tidak bisa menahan diri untuk berkomentar.

"Itu dulu. Sekarang mah Delia udah move on." Priska yang duduk di sebelah Delia mencoba membela.

Sementara itu, Delia yang awalnya masa bodoh mulai tertawa kecil dan menerangkan, "Kayaknya kalian salah paham, deh. Gue memang dulu kelihatannya nge-crush ke Dirga. Tapi itu nggak serius-serius amat, tau. Dirga lebih asyik dijadiin teman."

Mendengar itu, Monita mencoba mengingat kembali tindak-tanduk Delia beberapa hari belakangan. Sejak kejadian di kafe tantenya Dirga, dia tidak pernah lagi mengorek-ngorek info tentang kado. Saat meliput Merpati Putih Jumat lalu pun, setelah Monita dan Dirga kembali dari kantin, baik Delia dan Priska, tidak satu pun mencoba menginterogasi. Begitu pula tadi pagi, saat Monita menghampiri Kevin. Apa benar Delia sudah tidak peduli? Seharusnya ini berita baik. Teror semakin berkurang. Ruang gerak Monita jadi lebih leluasa. Namun, Monita tetap merasa gundah. Rasanya seperti Delia telah mencapai garis finis di perlombaan lari maraton, sementara Monita tertinggal jauh di belakang.

"Gimana kalo kita cariin kandidat gebetan baru buat Delia?" Tiba-tiba Kana mencetuskan ide cemerlang.

Priska tergelak, "Boleh juga! Siapa ya kira-kira yang cocok?"

Kana dan Priska pun mulai menyebutkan beberapa nama yang terlintas di pikiran mereka. Mulai dari yang terkenal karena fisik, hingga yang terkenal karena prestasi. Delia hanya menanggapi dengan berdecak acuh tak acuh, sesekali menggerutu kecil ketika nama yang terdengar terlalu asal-asalan.

"Hm ... Jhoni gimana? Dia orangnya care, loh." Kana mengusulkan calon berikutnya.

"Nooooo!" Delia menggeleng cepat. "Mending Aceng."

Gigitan terakhir roti isi sudah masuk ke dalam mulut Monita. Saat mendengar kalimat terakhir yang Delia lontarkan, dia berusaha berkonsentrasi penuh mengunyah selama mungkin, demi menyembunyikan ketidaknyamanan yang tiba-tiba mengusik.

"Setelah gue lihat-lihat, dia orangnya cool juga. Kayaknya seru buat dideketin," tambah Delia.

Monita masih terus mengunyah dan menahan diri untuk tidak menunjukkan reaksi yang tidak perlu. Namun, Priska malah menyeretnya masuk ke permainan mereka.

Kacamata MonitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang