14. INTEROGASI DADAKAN

198 42 5
                                    

Monita tidak bisa diam di kelas sepanjang jam istirahat. Bukan karena perutnya meronta minta diisi. Bukan karena Kana tanpa henti mencoba menghiburnya dengan menunjukkan video-video lucu. Melainkan, dia ingin tahu keberadaan Dirga. Sejak pagi, dia sudah mencoba mengirim pesan, minta waktu untuk berdiskusi sebentar, tapi tidak kunjung mendapat balasan.

Awalnya Monita sempat waswas, jangan-jangan Dirga marah atau tidak ingin ikut campur. Namun, meskipun benar semua berawal dari Monita, Dirga juga ikut berperan secara tidak langsung. Dia yang memberikan kado itu dan Monita yang menerimanya. Yang dibicarakan dalam tangkapan layar obrolan grup juga bukan hanya Monita. Jadi, seharusnya bukan hanya Dirga juga ikut ketar-ketir. Seharusnya yang diajak berdiskusi itu Monita, bukan malah Mauren.

Sempat terlintas ide untuk meminta Aceng menemui Dirga, sekadar untuk mencari tahu tanggapan atau reaksinya. Namun, Monita bertekad untuk tidak melibatkan Aceng lebih jauh. Apalagi hari ini sudah dua kali Aceng meminta maaf untuk masalah yang tidak ada kaitannya dengannya. Monita tidak ingin Aceng kembali merasa bertanggung jawab. Kali ini dia harus bergerak sendiri. Lagian, dia hanya perlu mendatangi Dirga, menanyakan pendapatnya, dan mendiskusikan tindakan apa yang harus mereka ambil.

Karena itu, selagi jam istirahat masih lumayan lama, sehabis mencuci tangan di toilet dan memastikan tidak ada sisa pasir yang menempel di rambutnya, Monita memutuskan berjalan lurus ke kelas Dirga.

Tak disangka, saat hendak mencapai pintu kelas, kebetulan Dirga baru saja keluar dengan langkah panjang.

"Dir—"

"Moni?"

Monita sempat kehilangan kata-kata sewaktu mereka berpapasan. Pertanyaan-pertanyaan yang sudah dipersiapkan di toilet mendadak buyar. Jadi, yang bisa keluar dari mulutnya hanya kalimat yang terputus-putus.

"Soal itu ... gue mau ...."

Seolah bisa memahami maksud Monita, Dirga membalas dengan senyum penuh perhatian. "Udah, Mon, nggak usah khawatir. Nggak perlu dipikirin soal kabar iseng itu. Gue nggak bakal bilang ke siapa-siapa kok," katanya sambil menepuk ringan bahunya beberapa kali, lalu meninggalkannya dengan tergesa-gesa. Seolah urusan yang sedang dia kejar jauh lebih penting berkali-kali lipat ketimbang masalah yang sedang Monita hadapi.

Monita hanya bisa mematung memandangi kepergian Dirga sambil berusaha mengingat kembali apa yang baru saja didengarkannya.

Nggak perlu dipikirin soal kabar iseng itu. Jadi, solusi dari Dirga: dia hanya perlu tutup mata dan telinga. Dan apa maksudnya dengan nggak bakal bilang ke siapa-siapa?

Alih-alih lega, masukan itu malah membuatnya semakin mumet.

Saat akan kembali ke kelas, dari pintu kelas, Monita tanpa sengaja bersitatap dengan Kevin yang duduk tepat di depan meja guru. Dia baru saja menyimpan kotak bekalnya ke dalam laci meja. Kevin sempat tersenyum canggung sebelum kembali sibuk mempersiapkan buku untuk pelajaran selanjutnya.

Tiba-tiba Monita teringat akan pertemuan mereka di depan kafe. Mungkin ini kesempatannya untuk memastikan apa sebenarnya yang Delia rencanakan di belakangnya. Sudah pasti mengundang Kevin ke pesta ulang tahunnya termasuk bagian dari rencana itu.

Setelah memastikan Delia dan Priska tidak ada di meja mereka, Monita menghampiri Kevin. Hampir semua penghuni kelas melirik kedatangannya dengan penuh tanya.

Menyadari Monita mengarah ke mejanya, Kevin menoleh ke kanan-kiri, seolah tengah mencari pertolongan. Berulang kali dia juga memperbaiki letak kacamatanya, seolah hendak memastikan yang dilihatnya bukan khayalan semata.

Begitu tiba di hadapannya, Monita sedikit membungkuk dan bertanya pelan, "Kemarin di kafe lo ketemu sama Delia, kan?"

Kevin tidak menjawab, kepalanya malah semakin menunduk, dan Monita menganggap dugaannya tidak melenceng. Delia benar-benar merencanakan sesuatu. Dan bisa jadi dia memperalat Kevin untuk menjalankan misinya.

Monita memutuskan duduk di kursi kosong di sebelah Kevin untuk melanjutkan interogasi. Ditunjukkannya senyum hangat dan bersahabat agar tidak terkesan seperti seorang perundung.

"Gue mau bantu lo. Dan mungkin lo bisa bantu gue," katanya selembut mungkin. Dan tampaknya itu berhasil. Kevin mulai mengangkat kepalanya, meski tatapannya masih setengah gentar.

"Lo diancam sama Delia?" lanjut Monita, sengaja memberi pertanyaan yang bisa dijawab dengan anggukan atau gelengan.

Kevin menggeleng kuat. Seperti hendak membantah keras sebuah ide yang mengatakan Delia itu berbahaya. Jika bukan Delia, lantas apa yang membuatnya ketakutan?

"Lo diiming-imingi sesuatu sama dia?"

Kali ini Kevin tidak menggeleng maupun mengangguk.

"Kita cuma ada urusan sebentar," cicitnya.

"Ah, berarti benar lo sama dia ketemuan di sana. Gue penasaran sama urusan yang mesti diurus malam-malam di kafe. Dan kenapa mesti kafenya tante Dirga? Kalian nggak lagi rencanain sesuatu, kan?"

Kevin tidak langsung menanggapi. Jarinya mulai meremas-remas ujung buku tulis di meja.

Sadar telah terlalu menyudutkan, Monita mencoba kembali melunakkan intonasinya.

"Kalo lo nggak berbuat salah, lo nggak perlu takut, Vin. Gue yakin lo pasti terjebak."

"Sebenarnya ... ini karena kado itu ...."

Seketika ucapan Kevin terdengar seperti tanda peringatan. Dia tidak pernah menduga obrolan ini akan mengarah ke masalah kado. Apa selama ini dugaannya sejak awal memang benar? Delia memang mengambil kado itu diam-diam?

Setelah memastikan sekelilingnya aman, dengan suara paling rendah yang dia bisa, Monita kembali bertanya dengan tatapan super-serius. "Lo tau isi kado Dirga?"

Kevin kembali menghindari kontak mata dengan Monita, bahkan tampak memejamkan matanya. "Tapi ... tapi aku udah janji sama Delia nggak bakal bilang siapa-siapa."

"Jadi, kadonya ada di Delia?"

Kevin membuka matanya dan menoleh bingung. "Iya. kadonya kan untuk dia."

Monita ikut-ikutan mengernyit heran. "Bentar, bentar. Yang lo maksud itu kado Dirga untuk Delia?"

Kevin mengangguk.

"Yang dia kasih dua bulan lalu?"

Kevin mengangguk lagi.

"Bukannya Dirga kasih jam tangan? Hubungannya dengan lo apa? Kenapa lo janji ke Delia 'nggak bakal bilang siapa-siapa'?"

"Maaf, Moni. Aku nggak bisa kasih tau." Kali ini Kevin benar-benar gemetaran, bahkan napasnya mulai terdengar tidak beraturan. "Tadi ... Aku pikir ... aku pikir ... kamu udah tau ... aku pikir ... kalian sama-sama—"

"Loh, Mon, kok di sini?"

Bagaikan dua agen rahasia yang tengah tertangkap basah, Monita dan Kevin menoleh cepat ke arah datangnya suara. Tampak Priska berjalan lurus ke arah mereka, diikuti Delia dari belakang. Kalau tadi, di depan kelasnya, Delia mampu melontarkan kalimat penuh penyesalan, sekarang mulutnya terkatup rapat. Dari wajah pucatnya, Monita bisa menebak dia sedang merasa terancam.

🕶️

Kacamata MonitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang