23. KABAR PATAH HATI

91 17 3
                                    

Pelajaran olahraga hari ini jauh lebih melelahkan dari biasanya. Setelah berlari pemanasan tiga putaran, mereka dibagi menjadi dua tim berdasarkan nomor absensi: tim genap dan ganjil. Guru olahraga menjelaskan singkat aturan permainan sofbol, setelah itu melepas mereka ke lapangan untuk bermain.

Berbeda dengan lompat jauh, di mana Monita lebih sering hanya jadi penonton, sofbol menuntut semua orang berpartisipasi. Dari awal sampai akhir. Kalau tidak main, ya jaga. Meski belum giliran jadi pemukul, tetap saja harus memantau teman satu tim, memperhatikan cara mereka memukul, ke mana harus berlari, sambil berharap namanya tidak dipanggil.

Namun giliran tetaplah giliran. Selagi jam pelajaran belum berakhir, Monita tidak bisa menghindar. Pak Guru memanggil namanya setelah satu temannya terlambat masuk base pertama.

Monita segera ambil posisi, menyipit penuh antisipasi. Bukan hanya terik matahari yang membuatnya khawatir, melainkan nasib entah bisa memukul atau tidak. Sayang sekali Aceng ada di tim lawan, sedang menjaga salah satu base. Dia jadi tidak sempat minta tips. Kana juga gabung bersama Aceng, menjaga base terakhir yang tak jauh dari posisi pemukul. Saat Monita mengambil pemukul dari lantai dan menatap serius ke lawannya yang melempar bola, Kana sempat memberi semangat dengan gerakan tangan.

"Siap, ya." Si Pelempar Bola memberi aba-aba.

Monita mencoba mengingat-ingat hasil observasinya terhadap pemukul-pemukul sebelumnya: lutut agak ditekuk dan angkat alat pukul ke pundak, pukul sekuat tenaga, dan lari sekencang-kencangnya.

Bola dilempar, Monita mengayunkan pemukul. Sayangnya meleset. Gerak bola itu terlalu tajam.

"Semangat, Moni!" teriak Fara di belakang. "Masih ada dua kesempatan lagi!"

Dan itu semakin menyadarkan Monita bahwa dia sedang jadi tontonan. Jika masih sekali lagi gagal, bukan hanya nilai yang terancam, malunya juga dapat.

Bola dilempar untuk kedua kali. Monita kembali mengayunkan pemukul. Kena. Hanya saja terlalu lemah. Bola jatuh tak jauh dari kakinya. Yang penting kena, kan? Monita merasa sudah saatnya berlari, tapi ragu-ragu karena Si Pelempar Bola tampak semakin ceria, dan tim yang berjaga tidak kunjung bergerak.

"Gue kalah?" tanya Monita ke belakang.

"Belum, masih ada sekali lagi," jelas Risma.

"Tapi tadi kan kena?"

"Iya, tapi kurang jauh."

Monita terbengong-bengong. Ternyata permainan ini tidak sesederhana kena atau tidak kena.

"Fokus, Mon. Lihat bolanya." Risma terdengar memberi nasihat, nadanya serius, seolah nasib tim mereka ada di pundak Monita.

Monita mencoba menurut. Lihat bola, pukul. Lihat bola, pukul, gumamnya dalam hati.

Saat bola kembali diarahkan ke sebelahnya, Monita mengayunkan pukulan sekuat mungkin. Kena! Dan kali ini tidak sependek yang tadi, tapi tidak melambung tinggi juga. Bola itu mengarah ke tempat Kana berjaga. Monita menoleh ke kiri-kanan, memastikan apakah dia bisa berlari atau tidak, sampai Risma berteriak, "Lari, Mon! Lari!"

Alat pemukul dijatuhkan begitu saja dan Monita bergerak menuju kotak pertama yang ditandai dengan lakban hitam diiringi sorak-sorai teman setim. Base pertama, terlewati. Monita tersenyum kecil. Berlari ternyata lebih mudah daripada menyambut bola, pikirnya. Dia pun dengan percaya diri terus melaju ke kotak perhentian kedua, tempat Aceng berjaga, dan berencana berhenti di sana untuk sekadar menyapa. Ini hari pertama mereka berbaikan, sudah sepatutnya dia beramah-tamah.

Ternyata Aceng juga berpikiran demikian.

"Tahan dulu, jangan lari lagi," katanya waktu Monita hampir tiba di base kedua.

Kacamata MonitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang