20. MENCARI KEBENARAN (BAGIAN 1)

238 43 7
                                    

Bukannya mendapat kejelasan, semua terasa semakin simpang siur. Setelah menyadari pertanyaan Dirga tidak selaras dengan persepsinya, Monita hanya memberi jawaban samar, lalu segera mencari-cari pengalihan. Untung saja saat itu dia menangkap sesuatu di lapangan. Anggota Merpati Putih mulai kembali merapatkan barisan. Jadi, Monita mengajak Dirga untuk bergegas agar tidak ketinggalan.

Sisa hari itu berjalan begitu saja. Monita tidak terlalu memperhatikan demonstrasi Merpati Putih, dan tidak lagi memusingkan antusiasme berlebihan Delia. Pikirannya melayang-layang, membuat sekitarnya mengabur. Sekabur pemandangan di luar jendela mobil saat ini.

Satu hari telah berlalu, dan Monita harus kembali menghadapi hari lainnya untuk menemukan jalan keluar. Semalam dia mencoba menyambung petunjuk-petunjuk yang saling bersilangan. Kesimpulan sementara yang dia dapat agak mengkhawatirkan: orang yang bisa memberikan penjelasan hanyalah Aceng.

"Semalam Tante Yola ngabarin penerbangannya di-reschedule."

Monita menghela napas pelan. Untuk beberapa saat dia sempat berpikir jadwal kepulangan tantenya itu bukan hal penting. Namun, dia tidak bisa menyalahkan ibunya yang hanya berniat berbagi kabar. Monita pun berhenti memandangi jalanan yang sibuk dari jendela di sebelahnya dan bertanya, "Jadinya kapan, Mi?"

Ibunya tidak langsung menjawab karena sibuk mengatur jarak di lampu merah. Tinggal satu persimpangan lagi, mereka akan tiba di Raya Jaya.

"Hari Minggu depan. Kamu ikut Mami, ya, jemput ke bandara?"

Hari Minggu libur sekolah. Seharusnya Monita tidak keberatan. Namun, dia langsung teringat kado Dirga. Kedatangan tantenya bertepatan dengan hari yang pernah disebut Aceng. Meski Monita semakin tidak yakin akan mengetahui isi kado itu sebelum waktunya, tetapi dia harus tetap meluangkan waktu untuk berjaga-jaga.

Lampu merah sudah berubah hijau. Ibunya sempat menoleh ke arahnya sebelum kembali menjalankan mobil.

"Moni kayaknya udah ada janji ...," katanya ragu-ragu, "tapi masih belum pasti."

"Bareng Kana-Delia?"

Monita tidak mengangguk maupun menggeleng, hanya cepat-cepat menambahkan, "Tapi masih rencana aja, Mi. Nanti Moni pastiin lagi."

Ibunya mengangguk paham. "Atau kamu nanti nyusul aja ke rumahnya Tante Yola. Apa kita nginap aja, ya? Seninnya tanggal merah, kan? Biar kita bisa bantu-bantu di sana. Apalagi sekarang Sisy udah nggak di rumah ...."

Selanjutnya Monita hanya bisa menyimak rencana dadakan dan pengertian yang ibunya coba tanamkan. Karena tidak terlalu masalah dengan acara menginap semalam, dia hanya mengangguk-angguk setuju dan menyerahkan semuanya pada ibunya. Sesampainya di depan sekolah, dia langsung berpamitan seperti biasa tanpa berkomentar apa-apa. Namun, langkahnya melambat begitu hendak melewati gerbang. Tampak seorang perempuan memarkirkan sepeda motornya di dekat gerbang dan fokus mengetik sesuatu di ponselnya. Karena merasa familiar, Monita sedikit memelankan langkah untuk memperhatikan lebih saksama.

Ternyata perempuan itu juga menyadari kehadiran Monita. Dia ikut menoleh dan tersenyum manis. "Hai! Moni, kan?"

Dia perempuan yang sering mengantar-jemput Aceng, yang juga pernah mengantarkan botol minum yang ketinggalan. Monita sempat memeriksa sekelilingnya sekilas untuk memastikan orang yang disapa memang dia. Mungkin saja ada Moni lain di Raya Jaya.

Namun, murid-murid lain hanya lewat begitu saja, tidak ada yang merasa terpanggil. Perempuan itu juga sudah beranjak dari sepeda motornya dan berjalan ke arah Monita.

"Moni, kan?" Dia masih mengulangi pertanyaannya. "Temannya Aceng."

Monita mengangguk ragu. Untuk pertanyaan pertama, dia tidak bisa membantah. Namun, untuk yang kedua—yang lebih terdengar seperti pernyataan daripada pertanyaan, dia kurang yakin fakta itu masih berlaku atau tidak.

Kacamata MonitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang