7. ZONA TEMAN

280 52 20
                                    

Kadonya menyangkut perasaan.

Bocoran kecil dari Dirga semalam jelas membuat Delia dan Priska semakin menggebu-gebu, menciptakan teror yang semakin intens. Sejak pulang dari kafe depan sekolah, notifikasi di ponsel Monita mengalir tanpa henti. Segala jenis bujukan terus menyerbu, mulai dari yang halus sampai yang mengintimidasi. Di obrolan grup, Delia bahkan sempat menuliskan daftar acara-acara yang akan dihadiri Dirga dua bulan ke depan.

Semua pesan yang mereka kirimkan memang terkesan sekadar sedang main detektif-detektifan. Hanya saja, siapa yang tidak cemas jika diberondong macam-macam pertanyaan seperti "jangan-jangan Dirga ngajak Momon nge-date" atau "jangan-jangan Momon mau dikenalin ke keluarga Dirga"? Sampai-sampai Monita harus menyembunyikan ponselnya ke dalam laci meja belajar, agar benda itu bisa enyah dari hadapannya barang semalam.

Anehnya, semakin tidak digubris, semakin giat mereka mengorek informasi. Besoknya, tepat saat bel istirahat berbunyi, Delia dan Priska sudah siap-siap berjaga di depan kelas Monita untuk menyeretnya ke kantin.

"Kana, lo coba deh bujuk Momon buat ceritain tentang kado itu."

Baru saja meletakkan pesanan mereka di meja kantin, Delia langsung mengeluarkan jurus baru. Dia mulai menghasut Kana yang sejak awal tidak memihak siapa pun. Monita mendelik tidak senang. Jelas sekali Delia sudah tidak sekadar main detektif-detektifan. Ini namanya praktik kecil-kecilan politik pecah belah.

"Bener! Sebagai teman, kita berhak tau, kan? Lo juga penasaran, kan?" tambah Priska.

Kana yang tadinya mencoba fokus mencampur bumbu siomai dengan saus sambal dan kecap, kini meringis putus asa. Monita bisa membayangkan betapa bingungnya terhimpit dua kubu seperti itu. Namun, dia tetap berharap Kana mau berpihak padanya.

"Gue juga penasaran, sih. Tapi, ya ... mau gimana. Momon nggak mau cerita. Kita sebagai teman mesti hargai privasinya juga, kan?"

"Privacy? Nggak fair, dong. Selama ini gue selalu cerita semuanya, especially kalo ada kabar baru tentang Dirga. Priska juga cerita pas dia dikirimin blackmail. Lo juga cerita pas Kak Felix deketin lo."

Lama-lama Monita merasa sedang jadi terdakwa dalam persidangan, dan Delia sedang membacakan tuntutan. Jus jeruk yang dia pesan mendadak hambar.

"Gue sih curiga Momon diam-diam jadian sama Dirga." Priska menambahkan tuduhan.

Belum sempat Monita angkat bicara, Delia segera membantah, "Nonsense. Kalo jadian, ngapain sembunyi-sembunyi? Toh, so far Momon terang-terangan deketin Dirga. Yang bikin gue heran, akhir-akhir ini gue merasa Momon agak menghindar dari Dirga. Even di kafe kemarin, kelihatan banget awkward gitu. Harusnya, kalo kado dari Dirga itu memang special, Momon bakal lebih dekat dengan Dirga, dong. Tapi, faktanya terbalik. Atau jangan-jangan isi kado itu sebenarnya nggak seistimewa yang kita duga."

Monita akui, Delia cukup jenius. Tapi, apakah dia harus terang-terangan mematahkan harapannya? Kesabarannya sudah melewati batas yang bisa ditolerir. Jelas saja dia tersinggung. Bagaimanapun, meskipun dia belum tahu apa sebenarnya yang Dirga berikan, peluangnya tetap 50:50. Masih ada kemungkinan jika kado Dirga benar-benar masuk kategori istimewa. Apalagi, itu tersirat jelas dari gelagat Dirga semalam.

Monita pun segera membela diri, "Lo itu terlalu banyak hipotesis. Dengar sendiri, kan, kemarin Dirga bilang kadonya agak pribadi dan menyangkut soal ... 'perasaan'?" Meski tidak sepenuhnya yakin, yang dia katakan tetaplah fakta.

"Tetap aja nggak makes sense buat gue, Mon. I know you so well. Semakin bernilai yang lo dapetin, semakin lo banggain hal itu di depan banyak orang. Dengan lo main rahasia-rahasiaan gini, gue malah makin curiga. Kenapa nggak lo langsung kasih tau aja secara general? Nggak mesti detail. Cuma bilang aja, entah itu undangan dinner, nonton bareng, atau apalah. Nggak ada ruginya."

Kacamata MonitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang