Part 5

584 30 0
                                        

SETERU

Malika masih duduk termenung di kursi pojok kafe, mencoba memikirkan apa yang hendak disampaikan Vika. Ya, dia tahu betul kalau Vika adalah mantan rekan Chef Bhae sekaligus mantan kekasih pria itu. Namun, apa yang membuat wanita itu harus mengamatinya seolah-olah dirinya adalah pesakitan?

Brayen datang membawa dua gelas orange juice, lalu duduk di sebelahnya. Pria itu menyodorkan satu gelas pada Malika dan meneguk isi gelas satunya sampai tandas.

"Haus, Pak? Bagaimana kau tahu, aku suka orange juice?" Malika bertanya menutupi nervous, karena baru saja tangannya bersentuhan dengan lawan jenis untuk pertama kalinya.

"Tahu aja. Aku gitu loh." Brayen menjawab asal, sambil menaik-turunkan alisnya.

"Situ genit amat sih, Pak?" Malika balik menggoda.

"Sembarangan. Aku genit juga sama kamu aja, kok."

Sambil merengut pria itu beringsut mendekati Malika. Kemudian berkata, "Apa pun yang dikatakan wanita tadi ... tidak semuanya itu benar."

"Dengar," lanjutnya, "Hal yang paling aku sesalkan di dunia ini ... adalah bertemu dengannya. Jatuh cinta, dan ... untunglah itu hanya masa lalu." Kemudian dia menyambar gelas berisi minuman berwarna orange itu dan menandaskannya.

"Chef Bhae," panggil Malika.

"Hemmm," jawab Brayen sambil meletakkan gelas kembali di meja.

"Itu, kan ... minuman aku."

"Ha?" Brayen menoleh dan melotot, kemudian menelan salivanya, mukanya tiba-tiba memerah. Mungkin malu.

"Yah dihabisin, Anda keterlaluan, Pak."

"Maaf, Bu, khilaf. Balik hotel, yuk!" ajaknya sambil membuka kancing blazer karena gerah.

Sekarang yang ada tinggal kaus hitam polos ketat sebagai ciri khas outfitnya.

Setelah mengendarai kendaraan selama lima belas menit, mereka sampai di hotel dan menuju kamar masing-masing.

Saat mau membuka pintu kamar, tiba-tiba Malika bertanya, "Apa kalian putus karena masalah itu?"

Kegiatan memutar handle pintu terhenti, Brayen cukup lama terdiam.  Pikirannya melayang pada kejadian lima tahun lalu.

***

"Apa ini pantas dimakan manusia?" Seorang juri yang terkenal pedas dalam mengkritik menunjuk pada steak miliknya yang lumayan gosong, tapi mentah di dalam.

"Ini juga, Mango Thai, pahit banget. Ini pakai sakarin?" tanya juri lainnya.

"Black team!"

Sang juri langsung memasukkannya ke tim hitam tanpa pembelaan. Padahal waktu itu pemilihan lima besar.

***

Brayen melepas kembali genggaman handle pintu dan berbalik badan, kemudian menghampiri Malika.

"Kau hanya tahu, tapi tidak mengetahui kebenarannya seperti mereka, Malika, tolong buka pintunya!" perintahnya menunjuk pintu kamar Malika. Setelah pintu terbuka, pria itu pun masuk disusul Malika.

Brayen mengempaskan pantatnya di sofa dan mulai bicara, "Tidak semua yang kaulihat di layar kaca itu benar."

Malika mengambil posisi duduk di sebelahnya.

"Sekarang aku tanya. Apakah pemanggang bisa membesarkan api sendiri?"

"Tentu, tidak," jawab Malika.

"Lalu? Apa wajar jika aku menambahkan sakarin dalam Mango Thaiku? Itu ... bukan milikku."

"Maksud ... mu?" Malika mencoba memahami kata-kata pria di depannya itu.

"Ada yang menukar simple sirupku. Aku mencicipi sisanya dan rasanya berbeda dengan yang kubuat."

"Apa kau menuduh Vika pelakunya?"

"Tidak juga. Aku menembus lima besar setelah mengalahkan empat orang black team lainnya. Cukup fair, bukan?" Brayen mengatakan kata 'fair' dengan intonasi penegasan.

"Seorang kru memerlihatkan rekaman CCTV dan aku sangat marah, pelakunya adalah wanita yang selama itu aku percaya. Sejak saat itulah sifat serakah dan kesombonganku muncul. Kupikir sia-sia bertarung dengan hati, makanya pertarungan itu kulakukan dengan garang, panas, penuh ambisi dan ... akhirnya inilah hasilnya. Seperti yang kau lihat."

"Tapi, aku menyukai caramu yang sederhana sebelum kau masuk black team, jadi itu penyebab kau berubah?" sahut Malika. "Kenapa tidak melaporkan kepada tim juri?" lanjutnya.

"Vika melakukan itu tentu ada alasannya, yang jelas aku senang sudah menendangnya di empat besar. Keluar dari kompetisi dan hatiku saat itu juga."

***

Ingatan Brayen kembali pada pertarungan panasnya di dapur CMI. Hari di mana dia harus masuk black team, team cadangan yang hanya memiliki kesempatan satu kali untuk memperbaiki nilai dan masuk kembali ke tim putih--white team.

Otaknya berpikir keras, dia sudah melakukan dengan hati-hati, tapi hasilnya ... bukan hanya juri yang kecewa, dia pun sangat kecewa.

Jika orang lain bertarung dengan pemanggang saat memanggang, Brayen memiliki teknik khusus. Dia memilih bertarung dengan api. Tidak disangka, saat kembali dari freezer, api itu seolah membesar dan membakar steak-nya hingga tidak layak dimakan. Sementara teknik itu hanya dia bagi dengan Vika. Wanita yang menjalin cinta lokasi dengannya mulai CMI syuting season kedua.

Wanita itu selain cantik, dan seksi. Dia juga berkulit putih dengan kaki jenjang sesuai tipe Brayen. Wanita yang berprofesi sebagai model fashion itu memiliki sifat yang ramah, supel, dan murah senyum. Brayen benar-benar dibuat mabuk kepayang olehnya.

Selain steak-nya yang gagal, sorbet mangga untuk dissert pun bermasalah, dia yakin telah memasukkan gula dengan takaran yang pas. Tidak habis pikir kenapa Chef Arnold mengatakan itu pemanis sakarin?

Seminggu berlalu, tiba waktunya tim hitam bertanding kembali, memperebutkan satu posisi enam besar dan berhak mendapatkan satu golden ticket untuk memilih sendiri masakan apa yang akan dia buat untuk pertandingan lima besar.

Berkat usaha dan keuletan, akhirnya tiket itu diperoleh dengan mudah. Babak demi babak selanjutnya dilalui dengan ambisi hingga penyisihan empat besar yang membuat Vika benar-benar tersingkir.

Sebelum pertandingan dimulai. Seorang kru memberi tahu padanya tentang kecurangan Vika saat penyisihan minggu lalu.

"Mas, maaf, saya kemarin tanpa sengaja melihat kecurangan Mba Vika di rekaman CCTV. Maaf loh, tapi sepertinya staf editing tidak menyadari perbuatannya," ucap Pak Bayu--kru kameramen.

Brayen jelas terkejut, pasalnya dia sudah curiga, tapi tidak menyangka itu benar-benar dilakukan oleh gadis yang dicintainya itu.

Tepat saat Vika mengangkat koper dari CMI, Brayen mengatakan salam perpisahannya.

"Terima kasih, berkat kau aku jadi tahu bagaimana bertanding, tapi kau tidak perlu khawatir. Aku akan selalu bertanding dengan kemampuanku sendiri. Selamat tinggal jangan pernah menghubungiku lagi," ucapnya penuh penyesalan.

"Bhae, apa maksudmu?" Vika bertanya tidak mengerti.

"Aku sudah tahu semuanya, tentang kecuranganmu. Tenang saja, rahasia itu tidak akan terbongkar kecuali kau sendiri yang angkat bicara."

Ke sawah panen kangkung dan lombok (cabe)
Insha Allah, bersambung besok

Chef Galak tapi GantengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang