Part 14

303 14 0
                                    

Belahan Jiwa

Brayen mengejar Malika sampai basement, napasnya tersengal-sengal. Tidak ada jejak Malika. Tangannya berkacak pinggang dan memutar badan kanan-kiri, tetap tidak ketemu. Frustrasi, tangannya mengacak rambut dan mengusapnya kasar. "Lu di mana, sih, Mel?"

Brayen keluar gedung, tetap tidak ditemukan jejak mobil gadis itu. Lelah, Brayen jongkok di parkiran sambil memegangi kepalanya, pusing.

Karena tidak berhasil menemukan Malika, Brayen berjalan kembali ke apartemennya sambil berusaha menelepon gadis itu. Namun, dia batalkan panggilannya, takut jika Malika tidak konsentrasi menyetir.

Sementara di apartemennya, David mengomel-ngomel pada Vika.

"Puas?"

"Gak ada yang bisa merebut Bhae dari gue," jawab Vika penuh amarah.

"Ni yang I tak suka dari engkau, penuh ambisi dan tak tahu malu," ucap David. "Kau sendiri yang tega mengkhianati Bhae semasa di galeri. Kenapa sekarang ngotot sangat nak balikan sama die?"

"Lu gak usah ikut campur, Dav--"

"Enough! Lebih baik kau pergi, sekarang!"

Vika pun pergi meninggalkan apartemen Brayen, karena memang percuma masih di situ. Brayen pun tidak kunjung tiba. Sementara David merasa tidak enak dengan Brayen. Bagaimanapun itu akibat omongannya di villa tadi.

David mengambil paper bag yang dijatuhkan Malika, sedikit terkejut setelah melihat isinya. Dia pun mencari ponselnya dan menghubungi seseorang.

***

"Oh, iya. Same-same." David menutup teleponnya setelah melihat Brayen berjalan ke arahnya. Benar-benar kacau.

"Masuk dulu, yok," ajak Brayen lesu.

"Kau tak pe?" tanya David.

"I am oke."

Dengan lesu, Brayen membuka pintu dan mempersilakan David masuk, kemudian menyiapkan minuman dingin bersoda dan menghidangkannya di meja beserta sedikit camilan. Waffle dan black forest yang barusan dibawa Malika.

"Waow, this is amazing, ini waffle? Like an egg," ucap David antusias. "Sedapnya."

"Kemarin waktu gue ke Malaysia, gue lihat waffle unik banget, tapi sayangnya kemanisan kalau untuk penderita diabetes. Jadi, gue coba aplikasikan dengan resep gue sendiri. Es krim gue sengaja tidak dibuat terlalu manis, gimana? Layak jual, gak?" Brayen bertanya sekaligus meminta pendapat sahabatnya tersebut.

"Menurutku, ini pas, jika untuk penderita diabetes. Es krim tak banyak gula dan lemak," jawab David sembari menyendokkan waffle ke mulutnya. "So, kau dah pandai ucap huruf R?"

"Belum lagi," jawab Brayen sembari mengusap layar gawainya. 'Come on, Malika, pick up my call,' batinnya.

"Belum nyambung?" tanya David penasaran. Brayen hanya menggeleng, kemudian meletakkan gawainya ke meja.

"Kau--" David sengaja menggantungkan kata-katanya. "Kau ... belum pernah berkunjung ke apartemen Malika?" Akhirnya David melanjutkan pertanyaannya.

"Itulah, gue belum pernah ke tempatnya."

"Sama sekali?" tanya David sambil menggigit sepotong black forest. 'Enak, rasanya masih seperti dulu,' batinnya.

"Hemmm." Brayen menjawab malas.

"Serius? Itu artinya, kau pun tak tahu dia tinggal kat mana?"

Brayen menggeleng dan berkata, "Dia sering ke sini. Mungkin karena gue banyak sibuknya juga, jadi kurang perhatian. Gue cuma tahu alamat ibunya di Bandung."

Chef Galak tapi GantengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang