Part 20

352 15 0
                                    

AYAH

Perjalanan pulang ke Jakarta terasa begitu singkat, mungkin karena malam. Jadi, susana jalan lumayan lengang. Di perjalanan, kedua insan yang sedang dilanda asmara itu saling diam. Brayen fokus mengemudi, sementara Malika masih mengingat apa yang dikatakan orang tuanya barusan.

Dulu, Malika pernah dijodohkan dengan seorang direktur rumah sakit oleh kakeknya. Namun, Malika menolak karena pria itu meskipun tampan dan kaya, tapi sudah memiliki kekasih dan gadis itu tidak mau jika diduakan di kemudian hari. Kemudian, dia meminta izin untuk melanjutkan kuliahnya guna mengambil program spesialisasi.

Namun, sekarang ketika masih dalam proses belajar. Justru ada pria lain yang akan meminangnya. Sang ayah memberikan syarat, mereka tidak boleh tinggal bersama meskipun sudah menikah. Sang ibu pun keberatan dan meminta ayah untuk tidak terlalu kejam pada mereka.

"Mereka ingin menikah karena menghindari perbuatan tidak semestinya, lalu mengapa harus tinggal terpisah?" tanya ibu Malika.

Ayah Malika berjanji akan menyewakan apartemen tepat di depan tempat tinggal Brayen. Namun, sang ibu ngotot mereka harus tinggal bersama, karena setelah dipikir, justru itu akan membuat hubungan mereka renggang secara perlahan. Akhirnya, sang ayah pun mengalah dengan satu syarat.

"Tidak boleh mengganggu kuliah Malika, dia harus selesai tepat pada waktunya. Karena itu adalah konsekuensi yang harus diterima Malika saat menolak perjodohannya dahulu," terang ayah Malika pelan, tapi tegas.

Brayen bisa mengerti bagaimana ayah Malika sangat menyayangi putrinya. Biar bagaimanapun dia tak ingin Malika keteteran ketika menjalankan tiga peran; dokter, mahasiswi, dan istri sekaligus. Kemudian, dengan senyuman terkembang, Brayen mantap menjawab syarat dari pria yang sebentar lagi akan menjadi mertuanya itu. "Baik, Pak. Saya bersedia membantu Malika baik dalam suka maupun duka."

***

"Mel." Brayen menepuk bahu atas Malika dengan lembut setelah memarkirkan mobilnya dengan benar.

"Sudah sampai, ya? Maaf ketiduran." Malika menjawab sambil melepaskan seat belt.

Melihat Malika yang sedikit kesusahan membuat Brayen mengulurkan tangan dan membantu melepaskan benda tersebut yang ternyata kuncinya tersangkut oleh bagian bajunya. Kemudian, setelah berhasil melepaskan diri, Malika keluar dari mobil dan mengikuti langkah Brayen menuju tempat tinggalnya.

Di sepanjang jalan, Brayen berkali-kali meyakinkan gadis berjilbab itu kalau semuanya akan baik-baik saja. Tentang syarat yang diberikan ayahnya pun Chef Master itu juga akan berusaha menepati janjinya.

Ting! Pintu lift terbuka. Saat tiba di tempat Malika, mereka melihat buket bunga yang diletakkan di kotak surat. Malika mengambil dan menciuminya. Kemudian, matanya berbinar dan senyumnya kembali merekah seperti mawar yang ada di tangganya, lalu tangannya menekan kombinasi angka dan tombol buka pintu sambil berkata, "Terima kasih, ya, untuk yang kemarin, juga hari ini."

"Apa? Gue gak--"

Belum sempat Brayen menyelesaikan kata-katanya, gadis berkulit putih itu sudah masuk. Kemudian, membalikkan badan sembari mengibaskan tangannya. "Baiklah, Chef, sudah malam, daaah," katanya setengah mengusir.

Setengah keheranan, Brayen berkacak pinggang dahinya pun berkerut seolah berpikir keras. "Bunga dari siapa?" gumamnya.

***

Keesokan harinya, ketika Brayen masih sibuk berolah raga di ruang tamunya, push up dan treadmill. Malika juga tengah sibuk membuat sarapan. Hari ini dia bertekad membuat pasta yang enak seperti yang diajarkan Brayen dahulu ketika kursus.

Chef Galak tapi GantengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang