POV Malika
Pagi-pagi aku dikejutkan oleh suara riuh dari ponsel pintar milikku sendiri, berisik. Aku menepuk-nepuk kasur, mencari benda pipih yang semalam entah kulempar kemana karena lelah luar biasa setelah berjibaku dengan seorang anak kecil yang tersedak kelereng. Ada lagi seorang anak kecil yang muntah-muntah karena masuk angin parah, untung hari ini sedang berhalangan, jadi bisa tidur lebih lama karena tidak berkewajiban menjalankan ibadah Subuh.
Ting tong.
Duh, siapa lagi itu? Malas rasanya menerima tamu pagi-pagi buta seperti ini.
Setelah berhasil menemukan benda pipih di bawah bantal, aku pun mengusap layarnya dan ... ya Tuhan, setengah enam pagi? Aku pun beranjak dari ranjang menyambar jilbab instan yang tergantung di pintu.
"Siapa?" tanyaku sambil berjalan.
"Imel, lu belum bangun, ya?" Orang yang di luar balik bertanya. Astaga itu Bang Aim, segera ku berlari dan membuka pintu.
"Abang!"
"Cewek, kok, bangunnya siang, jodoh lu jauh baru tahu rasa," omelnya sambil masuk dan menghempaskan pantatnya di sofa bermotif Doraemon kesayanganku.
"Abang dari rumah?" tanyaku sambil meraih bungkusan yang dibawanya. "Wih enak ini, buatan mama?" tanyaku lagi sambil mencicipi black forest kebanggaan wanita yang telah melahirkanku.
"Katanya mau pulang? Mama nungguin kasihan noh."
"Iya, maaf, Bang. Tadinya mau pulang weekend, tapi gak sempat. Ada Diklat," kuliahku, padahal aku lebih memilih ikut kelas baking dengan Chef Bhae, tetangga apartemen.
Namaku Malika, entah sejak kapan aku mengidolakan seorang celebrity, tepatnya celebrity chef kontestan CMI yang diadakan oleh salah satu stasiun TV nasional. Aku adalah dokter anak di sebuah klinik milik rekan papa, bukan bermaksud KKN hanya saja minus pengalaman membuatku mengiyakan saat rekan papa menawarkan kerja, tapi harus pisah dari orang tua, di Jakarta.
Lagi, entah kebetulan atau tidak, saat aku men-stalking akun Facebook milik Chef Bhae, rupanya dia juga tinggal di apartemen ini, wah. Meskipun beda lantai, aku merasa senang, karena setidaknya bisa kepoin tentang dirinya. Kira-kira dua tahun sudah aku menjadi tetangganya dan dia tidak menyadari itu.
"Mel, Imel, hoe!"
"Apaan, sih, Bang, ngagetin aja," protesku kesal. Keluarga besar memang biasa memanggilku Imel, macam surel aja, tapi sudahlah.
"Anterin Abang, yuk," pintanya.
"Tadi, Abang ke sini naik apa?"
"Taxi online, ayoklah, keburu ketinggalan pesawat. Abang harus segera balik ke Dubai, kalau tidak mau di pecat."
"Lah, bukanya libur sampai tahun baru? Aku aja belum dimanja-manja, loh," protesku.
"Tahu, tuh, si Koko--temannya yang dari China--katanya kecelakaan, karena tempatnya kosong. Abang disuruh balik gantiin dia."
"Abang, baru satu minggu udah balik lagi? Gak adil," rengekku, entahlah? Aku terbiasa melakukannya.
"Yodah, nih," ucapnya sambil menyodorkan ATM, wau. "Terserah ambil berapa, buruan mandi sono, terus anter Abang ke Soetta!" perintahnya.
Begitulah Bang Aim, suka loyal sama keluarga, meskipun aku sudah punya gaji sendiri, tapi dia masih selalu mentransfer sebagian gajinya untukku.
Sebenarnya aku pun tak minta, hanya saja, dia pikir sebelum menikah dan memiliki keluarga sendiri, apa salahnya menyenangkan adik semata wayang? Aku, sih, seneng aja, bisa ditabung, mana tahu Bang Aim kelak membutuhkan, jadi bisa membantu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chef Galak tapi Ganteng
RomansaTerlahir dengan bakat memasak dan membuat aneka kue, Brayen Emeraldi mencoba keberuntungan dalam ajang pencarian bakat yang diadakan oleh stasiun TV nasional CMI (Chef Master Indonesia) Memiliki wajah yang mirip dengan salah satu aktor Korea, Lee Se...