Tentang Bahagia, Kita yang Kendalikan

92 7 0
                                    

Oleh : Halo Oys

Benar bila dunia ini tak adil, tak akan seadil yang dimau manusia. Karena itulah ada kata 'impian' yang mewarnai harapan di hati, membuat hari menjadi lebih berarti. Meski sering juga merasa sakit tak berperi karena impian itu sendiri. Kadang semangat membumbung tinggi, tetapi sedetak dan sekedip kemudian bisa langsung jatuh ke dasar yang paling dalam.

Semua itu karena hati. Aku pernah berpikir, bahwa maksud dari 'hati' yang menaungi perasaan sedih, senang, canggung, takut, marah, dan perasaan-perasaan lainnya bukan hati berupa organ yang ada di dalam tubuh kita ini. Ialah yang entah berada di bagian mana tubuh manusia, ia tak kasat mata, tak bisa disentuh. Kadang-kadang tempatnya di jantung ketika berdebar, kadang-kadang tempatnya di perut ketika merasa geli karena perasaan canggung, atau bahkan di tangan ketika hendak menyentuh seseorang atau benda yang ingin kita sentuh.

Perihal bahagia, agaknya semua manusia sejak dulu hingga sekarang selalu mengejarnya. Ke tempat-tempat yang mereka yakini ada kata bahagia di sana, mati-matian manusia berusaha. Namun, apakah hanya di tempat yang kita kira ada makna bahagia saja, kita baru bisa bahagia?

Karena sejatinya hidup ini penuh misteri, terlampau tidak adilnya, ia bisa memberi manusia takdir di luar harapan mereka. Jauh sekali sesuai harapan. Sampai menyakiti, membuat jantung berhenti berdetak sekian detik, sampai otak kadang-kadang menolak untuk mencernanya. Lalu muncul sebuah kalimat penyangkalan yang walau hanya dua kata, tetapi pedihnya tak terkira.

"Kok bisa?"

Sejak saat itu, hidup rasanya hancur, harapan berserakan, semua kacau. Kepala seperti hendak meledak saja rasanya ketika menyambungkan satu dan lain benang, mencoba menarik kesimpulan, mencari letak kesalahan, dan yang ditemui hanya kebuntuan.

"Aku sudah berusaha sebaik mungkin, Tuhan."

Kalau bisa, rasa-rasanya ingin melampiaskan kekecewaan pada apa pun. Pada keadaan, pada bus yang macet di jalan, pada kucing yang menghalangi jalannya, pada sepatu yang tiba-tiba talinya terlepas, pada kesempatan yang sebetulnya bisa dia tangkap, tetapi dengan bodoh malah tidak tahu. Padahal sudah sedekat itu.

"Kenapa sih? Kenapa?"

Kekecewaan benar-benar melilit segala kewarasan, sesak di hati rasanya membuat dunia menjadi sunyi dan begitu mencekam. Oksigen bahkan terasa menipis di peredarannya. Orang-orang jauh terlihat beribu-ribu kali menyebalkan. Bahkan ketika dia hanya mengambil ponsel dan tangannya tidak sampai, ia jadi memaki-maki.

"Sialan!"

Ia masih tak terima, ketika impian yang dibuat, justru adalah tombak runcing yang dilepas oleh entah tangan dari mana, tepat ke hatinya, hingga berlubang. Menyisakan kehampaan. Hati seolah tidak ada di mana-mana dalam tubuhnya, hingga ia tidak bisa merasa apa-apa selain amarah. Marah karena emosi yang bergejolak di dalam diri tidak bisa ia mengerti, campur aduk tidak karuan. Karena tidak ada penerjemahnya, yaitu hati yang sudah menghilang dibawa harapan yang dilepaskan oleh dirinya sendiri. Namun ia merasa harapan itu yang justru melepaskan diri.

Perasaan sendiri saja tidak bisa dipahami, dunia memang tidak seadil itu, pikirnya.

Sebetulnya, tokoh ia di atas hanya lupa bernapas. Benar, bahwa dunia bisa menjadi begitu tidak adil kepada manusia yang mencoba meraih asa. Namun, tak benar bila manusia harus menyerah begitu mencoba sekali dan gagal. Ini semua karena ekspektasi kebahagiaan yang tidak pada tempatnya. Menggantungkan ekspektasi itu kepada suatu hal yang samar-samar, memiliki potensi sakit lebih besar.

Bagaimana bila fokus ekspektasi itu diubah? Digeser sedikit dari tempatnya semula, jangan jauh-jauh, karena jauh berpotensi tersesat. Kita tidak bisa mengawasinya begitu sudah menghilang dari radar, bahkan menimbulkan cemas bila kita kehilangan jejak. Di sini saja, satu langkah dari tempat kita berpijak.

Mulailah berbahagia dengan cara yang paling sederhana, bila kamu membuka mata di pagi hari. Sadari bahwa itu karunia paling agung dan tak ada yang bisa mengalahkannya. Karena kamu masih diberi kesempatan bertemu keluarga, meraih impian, melakukan banyak hal seperti mengatakan sayang kepada yang tersayang, masih diberi waktu untuk berbuat kebaikan.

Sebetulnya yang membuat hati bahagia bukan ada pada tempat atau titik yang ingin kita kejar. Justru bahagia ada karena kita memutuskan untuk berbahagia. Bisa dimulai dengan meraba hati, ketika melihat anak kecil di jalan menabuh sebuah alat yang menghasilkan suara nyaring, yang kadang-kadang terdengar mengganggu dan menimbulkan amarah ke permukaan. Coba lihat dari sisi yang lain, bahwa ia juga sama denganmu, sedang mengusahaan asa yang tak seterang milikmu karena tertutup awan ketidaktahuan akan dunia. Daripada marah, kamu bisa menumbuhkan simpati dan melihat ke dalam dirimu, bahwa kamu amat jauh beruntung secara keadaan.

Dunia lebih tidak adil kepadanya jika melihat dengan sudut pandang manusia.

Namun, apakah kamu yakin bahwa dia tidak lebih bahagia darimu? Bisa jadi, ia jauh lebih mengerti arti kebahagiaan dari kita semua. Sebab ekspektasi kebahagiaan mereka jauh lebih sederhana, bila diberi ia bersyukur, bila tidak mendapatkan apa yang dimau, ia melihat itu sebagai suatu kewajaran.

"Aku hanyalah anak jalanan."

Ia mengakui dengan setulus hati bahwa dia hanyalah anak jalanan yang ditakdirkan menjadi tidak memiliki apa-apa. Seharusnya ini yang patut kita contoh. Pada akhirnya kita hanyalah manusia. Tidak memiliki apa-apa selain perintah untuk berusaha, sedangkan hasilnya adalah hak Yang Mahakuasa.

Bagaimana kalau kita berbahagia mulai dari ketika membuka mata? Sebab kalau kamu tidak bahagia pun yang rugi adalah dirimu sendiri. Karena manusia tidak memahami betul, tidak merasakan apa yang kamu rasakan. Selain kalimat-kalimat penyemangat yang tak akan ada artinya bila kamu tak mau bergeser ke arah bahagia.

Menjadi BahagiaWhere stories live. Discover now