Oleh : Endang Wahyu Setiyana
Bahagia itu apa sih sebenarnya? Akan ada jawaban beragam tentunya. Ada yang menjawab: "saya akan bahagia jika memiliki rumah, jadi tidak perlu mengontrak lagi" "saya akan bahagia jika diterima di Perguruan Tinggi Negeri" "saya akan bahagia jika bisa pergi berhaji" "saya akan bahagia jika tahun depan pertemuan dengan si jodoh disegerakan oleh Allah" dan jawaban-jawaban lainnya. Yang intinya adalah sebuah ekspresi kepuasan karena keinginan memiliki atau meraih sesuatu sudah terlaksana. Belum ada tolok ukur yang pasti, tentang definisi bahagia. Ketika semua target dalam hidup sudah tercapai dengan sukses, tentu kita akan membuat target yang lebih tinggi lagi dan berusaha mencapai target baru itu. Begitu seterusnya.
Kalau dipikir-pikir kita hanya merasakan kebahagiaan semu atau sementara. Kita bahagia saat sudah bisa mencapai target, tapi bahagia yang kita rasakan akan berakhir seiring dengan ambisi kita untuk mencapai target baru yang lebih tinggi. Kemudian, jika target itu tidak tercapai, kita akan mendadak tidak merasa bahagia. Berarti kita merasakan bahagia hanya sebentar saja? Ada persoalan yang lebih penting dalam memaknai perasaan bahagia tersebut. Yaitu, bagaimana kita bisa mempertahankan waktu yang mengandung kebahagiaan itu sendiri.
Bicara bahagia, ternyata kata itu tidak selalu erat dengan hal baik. Misalkan, ada yang bahagia bisa berperan membangkitkan orang lain yang sedang jatuh terpuruk. Namun, ada juga yang bahagia dengan menjatuhkan orang lain hingga terpuruk dalam kehidupannya. Ada yang bahagia melihat sisi positif orang lain, lalu belajar darinya. Namun, ada yang memilih bahagia dengan terus melihat dan menemukan sisi negatif serta kekurangan orang lain. Ia merasakan kepuasan diri usai mencapai keberhasilan dalam menemukan banyak kelemahan dan kesalahan orang lain. Ada yang bahagia dapat memberi semangat kepada orang lain, agar mencapai kesuksesan dalam hidupnya. Namun, ada yang bahagia saat berhasil menghambat kemajuan orang lain, karena melihat itu sebagai pesaingnya.
Ada banyak macam dualitas bahagia dalam kehidupan ini. Satunya berjalan dalam bimbingan kegelapan, satu lagi melangkah dalam tuntunan terang cahaya nurani. Lalu apa yang telah, sedang, atau akan kita pilih dalam kehidupan ini? Untuk mengaktualisasikan kata bahagia itu.
Kita terperangah, berdecak kagum, lalu tersenyum penuh syukur dan bahagia saat melihat keberhasilan. Namun, berkali-kali sebelum itu selalu dipenuhi kegusaran atas sejumlah kegagalan. Seringkali kita hanya mau mengagumi keberhasilan, tanpa menghargai kegagalan demi kegagalan yang telah menjadi pondasi, yang membuat kita lebih strong menatap kehidupan.
Bahagia menjadi berkah saat kita mengerti tentang penderitaan. Begitulah, di puncak kesadaran dan pemahaman, kehidupan ini sudah dipenuhi oleh kesempurnaan dualitas yang mesti kita terima sebagai dua sisi yang saling membutuhkan. Meskipun kita seringkali menolak sesuatu yang tidak menyenangkan.
Telah terlewati semua hari, entah itu suka atau pun duka. Entah hati pernah ikhlas menerima, atau menolak penuh kemarahan. Setiap peristiwa telah berlalu dengan sempurna. Kita tidak akan bisa mengubah apa yang tidak bisa kita terima. Tetapi, kita harus bisa menerima apa yang tidak bisa kita ubah. Meminta maaf atas segala hal buruk yang pernah tercipta oleh pikiran, kata, dan tindakan. Dengan cara sesederhana itu, bukan tidak mungkin kita bisa merasa bahagia.
Bahagia adalah ketika kita bisa mensyukuri segala yang sudah kita miliki, sekalipun itu dalam keterbatasan dan kesulitan. Begitulah kehidupan, penuh liku. Banyak manusia yang ingin dirinya selalu merasakan kesuksesan agar bahagia, tapi kenyataannya mereka hanya berbicara tanpa melakukannya.
Ketika pagi tiba, setiap orang membuka mata untuk menjalani harinya, bergelut dengan rutinitas, menjalankan rencana yang telah disusun, atau mencoba mencari tantangan-tantangan baru. Sebenarnya apa yang orang cari dan untuk tujuan apa? Kebahagiaan. Inilah yang orang cari dan sekaligus menjadi tujuan. Setiap orang mengejar dan memperjuangkan kebahagiaan. Ketika mencari kebahagiaan, seringkali tidak luput dari kesalahan. Dalam perjuangan meraih kebahagiaan, kadang terperangkap dalam kepedihan yang dalam, melewati konflik-konflik menuju harmoni yang lebih tinggi.
Bahagia menurut versiku adalah saat aku berani melangkah menentukan pilihan besar dalam kehidupan, saat berhasil meluruhkan perang batin yang berkecamuk hebat dalam diri. Aku mengawali proses hijrah dengan keinginan untuk istiqomah berpenampilan syar'i, sebagai bentuk taatku kepada Allah. Menjalani satu hal yang wajib, yaitu menutup aurat dengan baik dan benar. Pun jangan sampai melalaikan kewajiban yang lain yang sudah diatur dalam Islam. Niatku berubah adalah untuk diriku yang lebih baik, bukan untuk menuai pujian orang. Aku belajar menjalankan kehidupan sesuai syariat agama.
Aku memang belum berubah sangat baik atau sangat saliha. Belum. Tetapi setidaknya selangkah lebih baik daripada aku yang sebelumnya. Begitulah cara indah Allah dalam menuntunku berhijrah. Meninggalkan kehidupan masa lalu, menuju kehidupan masa yang akan datang dengan lebih berfaedah. Bersyukur Allah memberiku hidayah dengan cara yang lembut, berupa rasa kekosongan dalam hati. Merasa hampa, seolah ada yang hilang dalam diri. Manusia dikaruniai akal untuk berpikir, dan sebaik-baiknya manusia adalah yang menangkap tanda-tanda hidayah itu dengan cepat untuk segera berbalik kepada-Nya sebelum terlambat. Selalu kukatakan dalam hati, bahwa aku sangat bersyukur masih diberi kesempatan memperbaiki diri. Andai setiap denyut kehidupan yang kulewati berlalu tanpa makna, betapa meruginya keberadaanku di dunia. Dan kini aku bahagia.
YOU ARE READING
Menjadi Bahagia
Não FicçãoBagaimana kalau kamu berhenti sejenak dan mencaritahu apa bahagia yang sesungguhnya di sini? Selami dirimu sendiri dan dapatkan hati yang baru setelahnya. Buku ini adalah karya anggota kelas menulis BukuKita pada minggu pertama di bulan Desember 201...