Oleh Maharani
Apa yang membuat kita bahagia? Jika subjek pertanyaan ini adalah manusia secara keseluruhan, maka jawaban saya akan mencakup hal-hal yang general. Sayangnya, tak ada yang lebih mewakili kegeneralan ini selain kata "semua" dan rasanya ketidakspesifikan semacam itu bukanlah jawaban yang tepat sasaran untuk pertanyaan ini. Karena itu saya akan menjawab dengan preferensi saya sendiri.
Saya pribadi tidak akan bisa menyebutkan satu-persatu apa saja yang membuat saya bahagia. Sebab, saya adalah orang yang mudah disenangkan dan saya yakin semua manusia di bumi ini pun menemukan surga-surga kecil pada beberapa hal sepele di sekitar mereka.
Saya bahagia saat beban pekerjaan saya tak sebanyak hari sebelumnya, bahagia saat membuka kotak bekal dan melihat menu favorit saya, bahagia saat melihat notifikasi update chapter baru di novel online yang saya ikuti, dan saya bahagia saat semua pekerjaan selesai tepat waktu. Yang saya simpulkan, bahagia itu sederhana dan relatif. Serelatif genre novel apa yang kita anggap bagus, setergantung rasa mie instan apa yang menurut kita paling enak, atau siapa yang lebih tampan antara Lee Min Ho dan Song Joong Ki (pardon my fangirling).
Sayangnya, tak semua orang menyadari bahwa sesungguhnya banyak hal-hal membahagiakan yang terserak di sekitar mereka. Mereka hanya fokus pada kesedihan yang tengah mereka lalui dan lupa bahwa penderitaan yang mereka rasakan tidak permanen.
Akibatnya, seringkali kita menemui fenomena orang-orang di sekitar kita yang usianya tergolong masih muda memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Seolah mereka lupa bahwa mereka pernah bahagia dan pada akhirnya akan menemukan kebahagiaan mereka kembali. Mereka adalah orang yang tenggelam dalam mentalitas korban dan terlalu asyik mengasihani diri. Berkat fenomena tersebut dunia seolah menjadi populasi besar yang rawan terjangkit krisis kesehatan mental.
Dikutip dari pemberitaan di laman web CNN Indonesia, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan setiap detik terdapat satu orang yang melakukan bunuh diri di seluruh dunia. Angka orang yang kehilangan nyawa akibat bunuh diri bahkan lebih parah dibanding jumlah orang yang terbunuh dalam perang. Total terdapat 800 ribu orang yang tercatat melakukan bunuh diri tiap tahunnya.
Kalau kita bertanya, apa sebenarnya yang menjadi kunci dari kebahagiaan itu? Jawabannya sangat universal
Syarat mencapai kebahagiaan yang universal itu adalah rasa syukur. Rasa syukur membuat kita merasa diberkahi saat membuka mata di pagi hari. Rasa syukur membawa otak kita otomatis mengingat hal-hal menyenangkan yang otomatis akan membuat kita termotivasi untuk melakukan yang terbaik. Sebab, akan ada banyak kebahagiaan yang menanti kita sekalipun beberapa tumpukan target terasa membebani kita di pagi hari. Sebab, lelah kita akan terobati dengan sempurna saat kita bersantai sembari menikmati hobi di penghujung hari. Sebab, tak akan ada manis tanpa ada pahit. Pelangi tak akan muncul tanpa hujan mendahului.
Untuk menanamkan sifat mudah bersyukur pada diri sendiri, kita bisa melatih dengan tindakan-tindakan berikut:
1. Jauhi sifat suka membandingkan kualitas dan pencapaian diri kita dengan orang lain. Orang yang lebih sukses, lebih kaya, lebih pintar, atau lebih terkenal daripada kita menempuh jalan yang tidak kita tempuh, merasakan sakit yang tak kita rasakan, bahkan menangis saat kita tak melihat. Jangan menyakiti diri sendiri dan menghabiskan waktu untuk merasa iri dengan keberuntungan orang lain.
2. Jangan egois. Ada manusia yang berpikir bahwa semakin jarang mereka direpotkan dengan hajat hidup orang lain, semakin banyak waktu yang bisa mereka habiskan untuk mengejar kebahagiaan mereka sendiri. Sekilas, logika ini memang terasa masuk akal. Nyatanya, sikap memikirkan diri sendiri, ingin selalu menang, tidak mau berbagi, dan sejenisnya, membuat mereka terasing dari lingkungan sosial. Padahal, memberi bantuan kepada orang lain juga akan menjadi sumur kebahagiaan tersendiri bagi mereka. Manusia mana yang bisa melawan kodratnya sebagai makhluk sosial dan tidak merasa senang saat mengetahui bahwa eksistensinya berarti.
3. Ucapkan terima kasih, sesepele apa pun kontribusi yang diberikan orang lain pada kehidupan kita. Ini juga merupakan bentuk lain dari rasa syukur kita. Semakin terbiasa kita melakukannya, semakin mudah pula bagi jiwa kita untuk menemukan banyak hal yang bisa disyukuri.
4. Cintai diri sendiri. Tanamkan dalam hati bahwa tak ada seorang pun di muka bumi ini yang terlahir sempurna. Rangkul kekuranganmu dan kembangkan kelebihanmu. Saat kita berhasil mencapai versi terbaik diri kita, maka celaan dari orang-orang yang membencimu tak akan pernah ada artinya.
5. Jangan biarkan siapa pun, termasuk diri sendiri, menilai kita dari kejadian di masa lalu. Memang, tak ada kesalahan di masa lampau yang bisa diperbaiki, tetapi pengalaman dan wawasan kita akan hidup pasti jauh berkembang. Menyesal boleh, tapi iringi semua itu dengan menanamkan kebiasaan-kebiasaan baru yang lebih baik.
Kelilingi diri kita dengan orang-orang berkepribadian positif. Namun, di samping itu, kita juga harus mencoba memancarkan kepositifan itu sendiri. Jangan pula menggantungkan kebahagiaan kita pada orang lain. Sebab, jika orang tersebut akhirnya pergi, maka kebahagiaan itu pun akan menghilang.
YOU ARE READING
Menjadi Bahagia
Non-FictionBagaimana kalau kamu berhenti sejenak dan mencaritahu apa bahagia yang sesungguhnya di sini? Selami dirimu sendiri dan dapatkan hati yang baru setelahnya. Buku ini adalah karya anggota kelas menulis BukuKita pada minggu pertama di bulan Desember 201...