Oleh Sisca Lavenia
Semua orang berhak bahagia, berhak merasakan suatu kebahagiaan. Namun, tidak semua orang merasakan kebahagiaan dalam hari-harinya. Terkadang, mereka terlihat bahagia hanya di luarnya saja, berbeda dengan asli dalam hatinya yang tidak sedang baik-baik saja.
Pelajaran tentang arti sebuah kebahagiaan bisa kita dapatkan dalam kehidupan sehari-hari. Dari peristiwa yang telah terjadi, entah peristiwa yang kita alami sendiri atau melihat dari peristiwa orang lain. Banyak sedikit pengalaman sehari-hari telah memberikan sebuah pembelajaran yang tanpa kita sadari bahwa bahagia tidak harus punya uang banyak, makan serba mewah, dan apapun yang orang lihat itu sebuah kebahagiaan. Sedangkan bahagia itu bisa kita rasakan kapanpun dan di mana saja.
Saya sendiri, pernah mengangap sebuah kebahagiaan itu berdasarkan finansial. Ada sedikit rasa iri dalam hati yang muncul, mengapa saya tidak seperti teman-teman? Saya yang notabene bekerja sebagai pengajar anak-anak—yang dibilang penghasilan masih pas-pasan—merasa galau dengan pencapaian yang sudah diraih teman-teman. Melihat mereka bisa membeli suatu barang mewah, bisa mencukupi kebutuhan orang tuanya, lantas mengapa saya masih belum bisa?
Sempat terbesit dalam benak saya, mengapa saya tidak berhenti bekerja sebagai pengajar dan mencoba bekerja di tempat lain? Namun, seketika pikiran itu harus saya buang jauh. Karena sejak awal menjadi pengajar adalah sebuah niat yang sudah saya tata sebelum memutuskan untuk berkuliah mengambil keguruan. Sejak awal, saya sudah digembleng bahwa menjadi pengajar janganlah mengharapkan penghasilan lebih seperti seorang karyawan di perusahaan yang gajinya disesuaikan dengan UMK atau seorang wirausahawan yang bekerja dengan waktu yang tidak ada batas ketentuanya.
Lantas, apa yang saya bisa lakukan untuk membuat diri sendiri tidak merasa berkeluh kesah dengan suatu pekerjaan yang sudah saya lakoni? Jawabannya adalah membuat diri untuk terus bersyukur dengan apa yang sudah dimiliki. Mengubah semua itu dengan sebuah kebahagiaan. Mereka bisa berbahagia dengan penghasilan besar yang dimiliki, dan saya bisa berbahagia dengan pengalaman mengajar yang tidak pernah bisa mereka rasakan.
Menjadi pengajar memang tidak mudah, apalagi pengajar anak-anak. Namun, tanpa saya sadari, sebenarnya bertemu mereka setiap hari telah memberikan banyak pembelajaran. Tentang arti kesabaran dalam menghadapi mereka, tentang sebuah keikhlasan yang harus benar-benar tertanam dalam mentransfer ilmu pegetahuan, dan itu suatu hal yang tidak mudah. Tanpa saya sadari, ada sebuah ketulusan yang mereka berikan kepada saya. Senyum mereka setiap hari dan apapun yang mereka berikan pada saya adalah sebuah kebahagiaan tersendiri yang seharusnya disyukuri, meski itu bukan soal finansial.
Saya pernah mendapat sebuah pertanyaan dari seseorang, jadi pengajar anak-anak itu apakah enak? Mendapat gaji sedikit dengan tuntutan harus benar-benar menjadi guru yang aktif membimbing, mengasuh, dan mengawasi anak-anak. Apakah dengan penghasilan yang segitu bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari? Awalnya saya sempat berpikir demikian dan sempat menggerutu dalam hati. Namun, seiring berjalannya waktu saya banyak belajar dari situ. Menjadi pengajar, bayarannya bukan tentang uang melainkan sebuah nilai hidup yang jarang sekali kita dapatkan di bangku sekolah maupun perguruan tinggi. Memang benar, selama hampir 5 tahun menjadi pengajar anak-anak banyak sekali pelajaran hidup yang saya dapatkan, mulai dari kesabaran, keikhlasan, ketulusan, dan masih banyak lagi.
Sebenarnya, apa yang perlu kita risaukan? Kebahagiaan itu mudah kita peroleh di mana saja. Kita bisa makan enak, memiliki tubuh yang sehat, hidup cukup dan kebutuhan hidup bisa terpenuhi dalam artian hidup sesuai dengan kebutuhan, itu adalah arti dari bahagia. Mengapa kita sering menganggap bahwa hidup kita kurang bahagia? Sebab, yang ada pada diri kita adalah perasaan negatif. Tanpa disadari, penyakit dengki sudah menggerogoti hati kita sendiri. Contoh, melihat teman membeli ini, punya rumah, memiliki kendaraan pribadi dari hasil jerih payahnya, kita jadi iri. Sebenarnya yang membuat tidak bahagia adalah diri kita sendiri. Kita terlalu banyak memikirkan apa yang tidak kita miliki sedangkan orang lain bisa memilikinya. Kita terlalu fokus pada apa yang sudah hilang dari kita, sedangkan masih banyak suatu hal yang semestinya masih patut disyukuri.
Bahagia itu perihal rasa, bukan sesuatu kemewahan yang kita miliki. Bahagia itu tentang bagaimana kita mensyukuri apa yang sudah diberikan pada Tuhan. Pekerjaan, kesehatan, dan nikmat-nikmat lainnya yang ternyata tidak bisa kita hitung, yang sudah Tuhan berikan pada kita. Tanamkan selalu rasa syukur, hilangkan penyakit hati yang selama ini sudah menggerogoti pikiran, dan jangan selalu melihat ke atas (pencapaian seseorang), tetapi lihatlah ke bawah, karena ternyata masih banyak orang yang kurang beruntung daripada kita. Dengan itu, kita akan menjadi manusia yang bisa menghargai setiap apapun yang kita miliki dan selalu bahagia dengan cara kita sendiri.
YOU ARE READING
Menjadi Bahagia
Non-FictionBagaimana kalau kamu berhenti sejenak dan mencaritahu apa bahagia yang sesungguhnya di sini? Selami dirimu sendiri dan dapatkan hati yang baru setelahnya. Buku ini adalah karya anggota kelas menulis BukuKita pada minggu pertama di bulan Desember 201...